Kadang, jalan pulang dimulai bukan dari pengakuan ... tapi dari kelelahan yang jujur ...
... bukan hanya cerita tentang masa lalu yang kelam, tapi tentang bagaimana seseorang bisa memilih untuk berhenti, berbalik arah, dan pulang ke dirinya sendiri.
Setiap malam, sekitar pukul sepuluh, ada sosok perempuan yang kerap duduk di bangku taman dekat pertigaan jalan kota. Ia selalu datang dengan pakaian serba hitam, atas bawah, lengkap dengan masker yang menutupi separuh wajahnya. Tak pernah saya lihat ia berbicara dengan siapa pun, kecuali pada satu dua orang laki-laki yang kadang datang mendekat---berbicara sebentar, lalu mereka menghilang di balik gelap.
Awalnya, saya kira dia hanya perempuan biasa yang sedang butuh udara malam. Tapi makin sering saya lewat, makin saya paham bahwa kehadirannya bukan tanpa alasan. Beberapa warga sekitar mengenalnya sebagai wanita berdiri di balik tembok dekat jalanan yang dipenuhi kegelapan. Tapi tidak ada yang tahu pasti siapa dia. Namanya, asal-usulnya, bahkan suaranya---semua tersembunyi di balik masker dan diam.
Yang menarik perhatian saya bukan hanya misterinya, tapi juga caranya menjaga jarak. Ia tidak merokok seperti perempuan lain yang seprofesi. Tidak juga berdandan mencolok. Justru kesederhanaan dan ketersembunyiannya membuatnya seperti potongan cerita yang tak selesai.
Sampai akhirnya suatu malam, saya melihat sesuatu yang berbeda. Ia duduk lebih lama dari biasanya. Tidak ada laki-laki yang datang. Tidak ada aktivitas mencurigakan. Hanya dia, diam, memandang kosong. Lalu pelan-pelan, ia membuka maskernya.
Wajahnya tak semuda yang saya bayangkan. Tapi ada kelembutan yang sulit dijelaskan. Ia tampak letih---bukan sekadar lelah fisik, tapi seperti seseorang yang terlalu lama bersembunyi dari sesuatu. Dari dirinya sendiri, mungkin.
Beberapa hari kemudian, saya bertemu dengannya di tempat yang tak saya sangka: sebuah musholla kecil di pinggir pasar. Ia duduk di pojok, memakai mukena, membaca Al-Qur'an perlahan. Saya hampir tidak mengenalinya, kalau bukan karena gerak tubuhnya yang khas.
Setelah salat, ia menghampiri saya. Untuk pertama kalinya, ia berbicara.
"Kamu sering lihat saya di taman, kan?" katanya pelan.