Ada saat-saat dalam hidup ketika kita berharap dunia mau berhenti sejenak agar kita bisa menarik napas, memperbaiki yang sempat salah, atau sekadar menikmati apa yang telah berjalan terlalu cepat. Namun kenyataannya, waktu tidak pernah memberi ruang untuk jeda. Ia terus melangkah tanpa kompromi, tanpa menoleh, seolah ingin menegaskan bahwa hidup memang diciptakan untuk terus bergerak, bukan berhenti.
Ada kalimat yang kerap muncul di kepala kita "Andai saja waktu bisa berhenti", sebuah kalimat sederhana yang mengandung kerinduan, keraguan, penyesalan, dan sekaligus harapan. Di antara hiruk pikuk keraguan dan tumpukan rencana yang tak kunjung selesai, waktu berjalan seperti bayangan yang diam tapi bergerak pasti. Ia tak menoleh pada penyesalan, tak menunggu kesiapan, dan tak peduli pada keinginan manusia yang ingin menahan satu detik lebih lama dari seharusnya.
Di tengah keraguan, kesibukan, ambisi, dan rutinitas, kita sering lupa bahwa setiap detik yang lewat tak akan pernah bisa kembali. Waktu tidak bisa menunggu siapa pun, bahkan kita yang masih berusaha memantaskan diri untuk melanjutkan sebuah langkah. Sesak memang, tapi itulah cara kerja dunia dan waktu yang saling berjalan bersamaan.
Dalam kehidupan yang semakin cepat, manusia sering tertinggal oleh ritme yang mereka ciptakan sendiri. Teknologi bergerak tanpa jeda, target datang silih berganti, dan setiap hari terasa seperti perlombaan tanpa garis finish. Kita berlomba mencapai target, mengejar karier, memperluas pengaruh, dan berusaha menandingi kecepatan zaman. Tapi di sisi lain, ada hal-hal yang perlahan memudar, yaitu kebersamaan yang tak sempat dijaga, keberhasilan yang tertunda, atau harapan yang lupa diungkapkan.
Sementara kita sibuk dengan "nanti dan besok hari," waktu tetap melangkah tanpa kata "menunggu". Ia tidak berhenti untuk memberi kita kesempatan kedua di satu langkah itu. Ia tidak menunggu kita yang seringkali masih ragu, atau yang terlalu lama menimbang langkah. Waktu hanya berjalan lurus ke depan, membawa kita ke arah yang tak selalu bisa diprediksi.
Kita sering berkata, "Aku akan mulai besok" Tapi ketika besok hari datang, kita masih di tempat yang sama sembari menatap kalender, menatap layar ponsel, dan menatap mimpi yang kian jauh. Disisi lain, waktu terus melangkah dengan langkah pasti. Ia tidak menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang tertinggal. Ia tidak berhenti hanya karena seseorang sedang kelelahan dan diliputi keraguan.
Sayangnya, waktu memang tak punya niat berhenti sedetikpun untuk menunggu. Tetapi, mungkin justru di situlah letak pelajarannya. Bahwa hidup bukan tentang menahan waktu agar kita terlalu lama diam dan menetap di suatu tempat, melainkan tentang bagaimana kita bergerak bersamanya untuk menyembuhkan luka, menjemput kesempatan, dan mensyukuri setiap momen yang sempat hadir sebelum semuanya berlalu.
Kita hidup di zaman yang memaksakan sesuatunya dengan alasan sibuk, di mana waktu sering terbuang di antara notifikasi, hiburan, dan hal-hal kecil yang membuat kita lupa tujuan. Kita bilang, "Aku sibuk", padahal sering kali kita hanya terjebak dalam hal-hal yang tidak membuat kita tumbuh.
Waktu Tidak Kejam, Ia Hanya Jujur
Setiap orang, pada titik tertentu, pasti pernah berharap bisa menahan waktu. Entah karena sedang bahagia dan tak ingin momen itu berakhir, atau karena sedang menyesali sesuatu yang ingin kita perbaiki. Namun, semua itu akan hilang bersama waktu yang berjalan dengan cara sama setiap harinya.
Sering kali kita menganggap waktu sebagai musuh serta menyalahkannya atas hilangnya sebuah harapan dan kesempatan, sebuah perpisahan yang terjadi terlalu cepat, atau usia yang terus bertambah tanpa bisa dicegah. Namun sesungguhnya, waktu tidak mengambil apa pun dari kita. Ia hanya merangkum semua kenyataan bahwa segala sesuatu memang memiliki masa.
Waktu hadir bukan untuk menghukum, melainkan untuk mengingatkan. Ia memberi tanda bahwa hidup tidak bisa diulang, tetapi selalu bisa diperbaiki. Ia membuat kita sadar bahwa kesempatan tidak selalu datang dua kali, sehingga setiap detik layak diisi dengan hal yang berarti. Namun sayangnya, terkadang manusia sering menganggap waktu terlalu cepat, padahal yang sebenarnya terjadi adalah kita yang terlalu lama menunda.
Kita menunda meminta maaf, karena merasa besok hari masih ada. Kita menunda berbuat baik di suatu hari, karena terkadang kita merasa hari lain akan lebih tepat. Kita juga seringkali menunda harapan, menunda kebahagiaan, bahkan menunda mencintai diri sendiri, hingga tanpa sadar waktu telah berlalu membawa kesempatan-kesempatan itu hilang bersamanya.
Bayangkan saja sebuah bunga yang sedang mekar, bunganya begitu indah, menarik pandangan siapa pun yang lewat. Tapi pada akhirnya, ia akan tetap layu seiring berjalannya waktu. Tentu bukan karena waktu itu kejam, melainkan karena keindahan itu memang hanya dititipkan untuk waktu yang sementara. Begitu pula dengan manusia, dengan segala harapan dan impiannya, dengan kebahagiaannya, dan bahkan dengan kesedihannya. Semuanya, pasti memiliki siklusnya sendiri.
Waktu hanyalah cermin yang memantulkan apa yang kita lakukan di dalamnya. Ketika kita merasa ia berlari, mungkin karena kita sendiri terlalu sering menunda-nunda. Ketika ia terasa lambat, bisa jadi karena kita sedang kehilangan arah dan merasa ragu. Waktu tidak pernah berubah, yang berubah adalah cara kita menatapnya.
Kita sering lupa bahwa waktu tak pernah berjanji untuk selalu terasa manis. Ia hadir bukan untuk menyenangkan, tetapi untuk mengingatkan atas segala kejujuran. Ia mengajarkan bahwa segala sesuatu punya akhir dan justru di sanalah nilai dari setiap awal bermula.
Waktu tak memiliki amarah, tak pula memiliki belas kasihan. Ia hanya menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di saat kita menunda, menyesal, atau terlalu sibuk mengejar hal yang tak bertahan lama dan tak pasti. Kejujuran waktu memang terasa pahit, karena ia tidak menipu. Ia tidak menyembunyikan kenyataan, bahwa segala hal akan sepenuhnya berubah.
Waktu tidak datang untuk menghapus kesedihan, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap luka bisa disembuhkan jika kita tidak terus menggenggamnya. Ia tidak berhenti untuk memberi kita kesempatan kedua, diam-diam selalu membuka pagi dan semangat baru agar kita punya kesempatan untuk memulai lagi semuanya dari awal.
Maka, ketika kita menyebut waktu itu "kejam", mungkin yang sesungguhnya menyakitkan bukan perginya waktu itu sendiri melainkan penyesalannya karena kita tidak menggunakannya dengan cukup baik. Waktu selalu berjalan dalam tempo yang sama, adapun yang membedakan hanyalah bagaimana kita memilih untuk mengisinya.
Belajar Berjalan Bersama Waktu
Waktu mengajarkan kita tentang pentingnya bergerak, tentang keberanian untuk melangkah, meski belum semuanya dibarengi oleh kesiapan. Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang menahan waktu, melainkan tentang bagaimana kita menyesuaikan langkah agar seirama dengannya.
Kita bisa memilih untuk terus menyesali apa yang sudah hilang, atau mulai mensyukuri apa yang masih kita punya. Kita juga bisa terus berlari melawan arah, atau mulai mengikuti arus dengan kesadaran penuh bahwa setiap momen memiliki nilainya sendiri. Dan ketika kita berhenti melawan waktu dan mulai berjalan bersamanya, hidup akan terasa lebih ringan. Tidak lagi terburu-buru, tetapi juga tidak lagi merasakan ketertinggalan.
Berjalan bersama waktu bermakna belajar berdamai dengan masa lalu yang tak akan bisa diubah, dengan masa kini yang kadang tak sempurna, dan dengan masa depan yang belum tentu sesuai harapan. Ia menuntut kita untuk lebih sadar dalam menjalani hari, bukan sekadar melewati waktu.
Waktu tidak akan pernah menunggu, tetapi ia selalu memberi ruang bagi kita yang mau bergerak. Ia memberi kesempatan baru untuk kita agar terus mencoba kembali setiap kesempatan di setiap hari berikutnya, memberi harapan dalam setiap pergantian momennya, dan memberi makna melalui setiap perubahannya.
Mungkin kita tidak bisa mengatur kapan sesuatu bisa dimulai atau berakhir. Namun kita bisa memilih cara terbaik untuk hadir di setiap momen. Karena pada akhirnya, waktu bukanlah lawan, melainkan sahabat yang diam-diam mendewasakan kita. Ia tidak menunggu, tapi selalu memberi tanda bahwa hidup terus berjalan dan tugas kita hanyalah melangkah, dengan hati yang penuh kesadaran, sebelum semuanya menjadi kenangan.
Kita sering takut kehilangan waktu, padahal yang lebih menakutkan adalah kehilangan kesadaran akan nilainya. Setiap detik yang berlalu bukan sekadar angka di jam dinding, melainkan saksi perjalanan yang tak bisa diulang. Maka berhentilah menunggu waktu yang "tepat", karena dalam setiap jalannya arus waktu, ada pertemuan, ada kebahagiaan, ada perpisahan, ada tawa, dan air mata yang semuanya bagian dari arus waktu yang sama.
Mungkin kita tak bisa menahan waktu agar berhenti, tapi kita bisa berhenti sejenak untuk menghargainya. Untuk tersenyum pada kenangan yang telah lewat, untuk memaafkan diri sendiri atas hal yang belum tercapai, dan untuk bersyukur atas apa yang masih kita miliki hari ini. Meskipun waktu akan terus berjalan, tapi dengan hati yang sadar dan lapang langkah kita tak lagi terasa tertinggal.
Waktu adalah guru yang tak berbicara, tapi selalu memberi pelajaran. Ia tidak memaksa siapa pun untuk belajar, namun perlahan menunjukkan konsekuensi dari setiap pilihan yang kita pilih. Mungkin waktu memang tak punya niat menggurui, tapi ia selalu memberi ruang bagi kita yang ingin belajar memperbaiki diri.
Barangkali, waktu tidak pernah benar-benar meninggalkan kita. Ia hanya berubah bentuk menjadi sebuah kenangan, menjadi pelajaran, dan menjadi kekuatan untuk kita agar bisa melangkah lebih baik lagi kedepannya. Sebab waktu bukan musuh, melainkan ia adalah guru yang paling sabar. Ia tidak menghakimi, melainkan hanya mengingatkan bahwa setiap hal yang datang pasti akan pergi, dan setiap yang pergi selalu meninggalkan arti.
Jika hari ini kita merasakan waktu terasa cepat berlalu, mungkin karena kita lupa memeluk momen yang sedang terjadi. Sebab pada akhirnya, yang abadi bukanlah waktu itu sendiri, melainkan makna yang kita sisipkan di dalamnya.
Jangan biarkan detik yang berlalu hanya menjadi sebuah angka semata, maka jadikan setiap detik itu bukti bahwa kita telah hidup sepenuhnya dan bukan hanya sekadar menunggu waktu berlalu. Sebab pada akhirnya, bukan banyaknya waktu yang kita punya untuk membuat hidup kita terasa berarti, melainkan bagaimana kita menggunakannya untuk hal-hal yang benar-benar bermakna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI