Waktu hadir bukan untuk menghukum, melainkan untuk mengingatkan. Ia memberi tanda bahwa hidup tidak bisa diulang, tetapi selalu bisa diperbaiki. Ia membuat kita sadar bahwa kesempatan tidak selalu datang dua kali, sehingga setiap detik layak diisi dengan hal yang berarti. Namun sayangnya, terkadang manusia sering menganggap waktu terlalu cepat, padahal yang sebenarnya terjadi adalah kita yang terlalu lama menunda.
Kita menunda meminta maaf, karena merasa besok hari masih ada. Kita menunda berbuat baik di suatu hari, karena terkadang kita merasa hari lain akan lebih tepat. Kita juga seringkali menunda harapan, menunda kebahagiaan, bahkan menunda mencintai diri sendiri, hingga tanpa sadar waktu telah berlalu membawa kesempatan-kesempatan itu hilang bersamanya.
Bayangkan saja sebuah bunga yang sedang mekar, bunganya begitu indah, menarik pandangan siapa pun yang lewat. Tapi pada akhirnya, ia akan tetap layu seiring berjalannya waktu. Tentu bukan karena waktu itu kejam, melainkan karena keindahan itu memang hanya dititipkan untuk waktu yang sementara. Begitu pula dengan manusia, dengan segala harapan dan impiannya, dengan kebahagiaannya, dan bahkan dengan kesedihannya. Semuanya, pasti memiliki siklusnya sendiri.
Waktu hanyalah cermin yang memantulkan apa yang kita lakukan di dalamnya. Ketika kita merasa ia berlari, mungkin karena kita sendiri terlalu sering menunda-nunda. Ketika ia terasa lambat, bisa jadi karena kita sedang kehilangan arah dan merasa ragu. Waktu tidak pernah berubah, yang berubah adalah cara kita menatapnya.
Kita sering lupa bahwa waktu tak pernah berjanji untuk selalu terasa manis. Ia hadir bukan untuk menyenangkan, tetapi untuk mengingatkan atas segala kejujuran. Ia mengajarkan bahwa segala sesuatu punya akhir dan justru di sanalah nilai dari setiap awal bermula.
Waktu tak memiliki amarah, tak pula memiliki belas kasihan. Ia hanya menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi di saat kita menunda, menyesal, atau terlalu sibuk mengejar hal yang tak bertahan lama dan tak pasti. Kejujuran waktu memang terasa pahit, karena ia tidak menipu. Ia tidak menyembunyikan kenyataan, bahwa segala hal akan sepenuhnya berubah.
Waktu tidak datang untuk menghapus kesedihan, melainkan untuk menunjukkan bahwa setiap luka bisa disembuhkan jika kita tidak terus menggenggamnya. Ia tidak berhenti untuk memberi kita kesempatan kedua, diam-diam selalu membuka pagi dan semangat baru agar kita punya kesempatan untuk memulai lagi semuanya dari awal.
Maka, ketika kita menyebut waktu itu "kejam", mungkin yang sesungguhnya menyakitkan bukan perginya waktu itu sendiri melainkan penyesalannya karena kita tidak menggunakannya dengan cukup baik. Waktu selalu berjalan dalam tempo yang sama, adapun yang membedakan hanyalah bagaimana kita memilih untuk mengisinya.
Belajar Berjalan Bersama Waktu
Waktu mengajarkan kita tentang pentingnya bergerak, tentang keberanian untuk melangkah, meski belum semuanya dibarengi oleh kesiapan. Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang menahan waktu, melainkan tentang bagaimana kita menyesuaikan langkah agar seirama dengannya.
Kita bisa memilih untuk terus menyesali apa yang sudah hilang, atau mulai mensyukuri apa yang masih kita punya. Kita juga bisa terus berlari melawan arah, atau mulai mengikuti arus dengan kesadaran penuh bahwa setiap momen memiliki nilainya sendiri. Dan ketika kita berhenti melawan waktu dan mulai berjalan bersamanya, hidup akan terasa lebih ringan. Tidak lagi terburu-buru, tetapi juga tidak lagi merasakan ketertinggalan.