Mohon tunggu...
Ahmad Edi Prianto
Ahmad Edi Prianto Mohon Tunggu... 👨‍🎓 Social Welfare Science 💼 Wiraswasta

Hanya individu biasa yang hidup ditengah lapisan masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Gelar Sarjana dan Gengsi, Mendorongmu Takut Pada Pekerjaan Yang Menurutmu "Bukan Levelnya"

14 Agustus 2025   11:12 Diperbarui: 14 Agustus 2025   16:18 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seseorang yang tertekan akibat Sulitnya menjalani dinamika kehidupan. | Sumber Image : pexels.com/@pixabay

Sarjana kok berdagang? Sarjana kok buka toko? Sarjana kok jadi buruh? Sarjana kok jadi ojek online? atau Sekolah tinggi-tinggi ilmunya buat apa? Mahal-mahal kuliah kok kerjanya hanya begitu? Mending dulu langsung kerja, nggak usah nerusin kuliah! .

Pasti diantara kita pernah melihat atau mendengar lontaran, pernyataan, dan pertanyaan seperti itu, baik di sosial media ataupun secara langsung di lingkungan sekitar kita. Hal ini bukan hanya menjadi beban pikiran, tetapi juga perlahan menjadi beban mental atau kesehatan mental bagi seseorang atau dirimu sendiri yang merasakan ada di dalam situasi tersebut.

Ekspektasi orang lain diluar sana, lulusan sarjana adalah penggerak, penemu atau pencetus, dan pemikir handal. Sehingga pada akhirnya, gelar sarjana dianggap sebagai "tanda" kompetensi, kecerdasan, dan kesiapan seseorang untuk bekerja. Kebanyakan darinya menilai bahwa kuliah adalah sebuah investasi besar, yang lulusannya sudah pasti secara otomatis memiliki tiket emas untuk mendapatkan pekerjaan lebih baik.

Stigma yang telah menyebar mengenai gelar sarjana bagi masyarakat terkadang dianggap sebagai jalan untuk meraih status sosial yang lebih baik dan lebih tinggi, karena banyak dari lulusan sarjana dipandang sebagai orang yang lebih terpelajar, kritis, adaptif, dan solutif. Lulusan sarjana juga dilabeli memiliki jaminan masa depan yang lebih baik, dengan segala jenis pekerjaan yang menetap, gaji yang banyak dan layak, serta hidup lebih stabil dari pada orang lain yang bukan lulusan sarjana.

Bukan hahya itu, bahkan di beberapa kasus lulusan sarjana juga dipersepsikan memiliki jiwa kepemimpinan alami yang terkadang diharapkan bisa langsung memimpin suatu proyek atau tim kerja. Padahal untuk memimpin suatu proyek atau tim kerja bukan hanya mengandalkan gelar sarjana saja, melainkan juga pengalaman, mental, jaringan, dan keterampilan yang praktis dalam diri seseorang.

Dari stigma-stigma yang terjadi di lingkungan sekitar tersebut, muncullah permasalahan dalam diri dan mental seseorang, yaitu Gengsi. Gengsi adalah perasaan yang terjalin pada diri seseorang mengenai rasa pentingnya menjaga harga diri dan citranya di hadapan orang lain, karena takut jika dirinya dianggap rendah dan tidak selevel jika status sosialnya tidak dinilai berwibawa.

Rasa gengsi menyebabkan seorang lulusan sarjana merasa tertekan dengan adanya stigma sosial tersebut dan pada akhirnya setelah mereka lulus bukan lagi memikirkan kesiapan kerja saja, melainkan juga memikirkan standartnya pada pilihan "Selevel dan Tidak Selevel" atau "Levelnya dan Bukan Levelnya".

Rasa gengsi karena gelar sarjana akan terasa merenggut kepribadian seseorang, baik pada faktor sosial maupun psikologisnya. Dengan adanya gelar sarjananya, seseorang akan mengaitkan identitas dirinya pada gelarnya tersebut. Otomatis, harga dirinya juga akan dikaitkan juga pada identitas dirinya tersebut. Disitulah rasa gengsi muncul ketika seorang lulusan sarjana akan takut jika orang lain menganggap dirinya gagal memenuhi ekspektasi dari gelar atau latar belakang yang dirinya miliki.

Persepsi "Level dan Bukan Levelnya" menciptakan sempitnya pandangan seseorang tentang dunia pekerjaan, yang menganggap bahwa dalam dunia pekerjaan seseorang harus selalu naik tangga untuk dinilai lebih tinggi tanpa pernah turun lagi. Padahal realistisnya, banyak orang yang sukses justru memulai usahanya dari kecil kemudian menjadi besar, atau bahkan banyak orang yang sukses bahkan kembali ke pekerjaan sederhananya untuk bertahan hidup dan mengatur ulang arah kehidupannya.

Rasa gengsi saat ini telah membuat seseorang lebih takut pada penilaian orang lain daripada kehilangan sebuah peluang untuk berkembang, yang mencerminkan seperti "orang yang sedang kelaparan tapi menolak untuk makan karena takut terlihat miskin" dan pada akhirnya dirinya sendiri yang akan merasakan kerugian.

Tekanan Sosial dan Pandangan Orang Lain

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun