Mirip dengan bagaimana penonton berbondong-bondong ke Avengers: Endgame. Meski kualitas ceritanya relatif, pengalaman kolektif menonton penutup saga adalah daya tarik utamanya.
Keempat, nostalgia dan fan service. Di dalam film ada banyak momen nostalgia.
Mulai dari kilas balik kasus lama, cameo, sampai footage arsip Warren asli. Ini jadi semacam ucapan perpisahan yang bikin fans merasa dihargai.
Yang membedakan Conjuring dengan film horor lainnya adalah selalu ada drama keluarga yang menyentuh. Ketakutan bercampur dengan rasa peduli.
Pada anak-anak yang gak bisa tidur, pada ibu yang berusaha melindungi keluarganya, pada pasangan yang harus saling menguatkan.
Di situlah film ini menemukan keseimbangan antara teriakan dan air mata. Ia bukan hanya menjual ketakutan, tetapi juga menghadirkan keintiman, kepercayaan, dan kisah yang membuat penonton percaya bahwa horor bisa lebih dari sekadar hiburan.
Dan kelima, kekuatan pasar global. Conjuring Universe sudah punya basis fans di Asia, Amerika Latin, dan Eropa.
Genre horor cenderung lintas budaya. Gak perlu banyak dialog atau humor spesifik.
Selama ada hantu, eksorsisme, doa, dan ritual, yang mempertegas konflik antara iman dan kejahatan, penonton global bisa relate.
Bagi banyak orang, ini bukan sekadar tontonan. Tapi juga pantulan dari kepercayaan mereka sendiri tentang dunia gaib.
The Conjuring: Last Rites laris bukan karena kekuatan ceritanya. Orang datang ke bioskop bukan untuk mencari cerita terbaik, melainkan untuk mengucapkan selamat tinggal pada salah satu waralaba horor paling berpengaruh dekade ini.