Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Even Fiksi Kompasiana dan Beberapa Kesalah-pahaman tentang Fiksi

20 Juli 2015   01:50 Diperbarui: 20 Juli 2015   01:50 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya saja tak semua karya Sutardji serupa sihir yang lahir dari alam gelap nan penuh satir. Beberapa diantara cukup menggairahkan. Cukup singkat, padat dan sederhana, dengan aura mistik yang masih kental tersisa seperti kutipan di bawah ini.

 

Satu kilo daging sapi darahnya menetes di atas kanvas

Kanvas itu bertuliskan: ha-ha

 

Kenapa harus darah, dan bukannya symbol luka yang lainnya? Kenapa mesti sapi, dan bukannya semut minggring atau ular londot, misalnya? Dan –terutama sekali- kenapa butuh ‘ha-ha’ untuk bersamding dengan darah? Demi kekontrasankah? Atau justru darah sebagai simbol kepedihan korban, wajib menetes di atas tawa congkak si penindas?

Dan entah riuh apa lagi yang tak berhenti bertanya-jawab dalam benak saya, dengan amat manisnya mengingat realita yang ada memang terus saja menggambarkan kebenaran puisi tersebut. Tentang si jahat yang menindas si baik nan lemah, setelah sepelumnya berpura-pura sebagai sesuatu yang baik dan halal (daging sapi), yang pada akhirnya tetap saja memberikan tragedi (tetesan darah).

Tapi itu tentu saja penafsiran pribadi, yang menggunakan skema cocoklogi serta teori konspirasi yang amat gemar kita paksakan kesimpulannya, seakan semua yang tengah terjadi di Indonesia adalah rekayasa dan hasil mufakat segelintir elit, tanpa pernah peduli latar kejadian pendukungnya. Dan penafsiran itu akan jadi amat berbeda ketika dibaca oleh anak sekolah, misalnya, atau pustakawan, ahli IT dan entah profesi apa lagi, dengan ‘kesadaran berlapis’ yang bertingkat-tingkat sesuai dengan latar belakang social-pendidikan masing-masing.

Dizaman yang masih berdekatan dengan Sutardji pula akan kita temui puisi yang tidak gelap dan njlimet, yang justru amat lucu dalam kesederhanaannya. Seperti punya Jokpin alias Joko Pinurbo, dengan puisi di bawah kibaran sarung-nya yang amat dan amat dan amat sederhana, tentang celana, yang justru berkibar hingga ke Negara luar. Atau puisinya tentang paskah yang saya pikir agak kurang ajar terhadap agama, namun tetap sangat mudah untuk dicerna.

 

Celana Ibu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun