Mengapa Mahasiswa Sulit Disiplin di LMS&WAG?: Konsekuensi Lemahnya Literasi Akademik di Era Digital
Di tengah derasnya arus transformasi digital, Indonesia menghadapi tantangan serius: rendahnya literasi digital. Data UNESCO dan UNDP menempatkan literasi digital Indonesia di bawah rata-rata negara-negara ASEAN, bahkan menurut UNICEF 2023, hanya sekitar 30% pengguna internet muda Indonesia yang memiliki kecakapan digital memadai. Di perguruan tinggi, fenomena ini tampak nyata: Learning Management System (LMS) platform yang seharusnya menjadi jantung pembelajaran modern justru sering sepi aktivitas.
Fenomena ini bukan sekadar soal gadget atau sinyal internet, melainkan cerminan dari krisis kesadaran digital. Di satu kelas berisi 31 mahasiswa, hanya empat orang yang "eungeuh" atau baru 13 % (yang sadar, dalam istilah lokal Cipadung-Bandung) untuk mengunggah foto resmi di laman LMS padahal instruksi sudah disampaikan secara lisan sejak pertemuan pertama. Kasus kecil ini menggambarkan bagaimana lemahnya literasi akademik digital menjelma menjadi masalah kebangsaan yang lebih besar. Yu Kita elaborasi satu persatu, barangkali bisa dijadikan pengingat:
Pola Penggunaan Pertanyaan dan Disiplin Digital
Masalah utama bukan pada teknologinya, tetapi pada pola berpikir akademik yang kurang terbentuk. Mahasiswa sering tidak membiasakan diri bertanya atau menelusuri instruksi dengan cermat. Padahal, setiap pertanyaan adalah tanda kesadaran kognitif bahwa seseorang hadir secara intelektual. Dalam konteks LMS, kemampuan membaca panduan, memahami jadwal unggah, hingga memastikan keaslian identitas digital adalah bagian dari literasi akademik yang mendasar. Ketika mahasiswa tidak terbiasa menggunakan pertanyaan untuk memperjelas, mereka terjebak dalam pasifisme digital: membuka LMS hanya ketika terpaksa, bukan karena kebutuhan belajar. Padahal, dunia akademik justru dibangun atas dasar pertanyaan bukan sekadar instruksi.
Lemahnya Literasi Akademik: Antara Teknis dan Kultural
Lemahnya literasi akademik digital mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari budaya belajar yang masih lisan dan instruktif. Banyak mahasiswa menunggu dosen mengulang perintah, bukannya membaca pengumuman daring secara mandiri. Ini menunjukkan mentalitas dependensi akademik yang bertentangan dengan semangat self-directed learning yang dibutuhkan di era digital. Selain itu, sebagian besar mahasiswa masih menganggap LMS sekadar "alat administrasi," bukan ruang refleksi intelektual. Padahal, di kampus global, LMS menjadi media utama membangun portofolio akademik digital, mengarsipkan progres riset, hingga berjejaring profesional. Di Indonesia, fungsinya sering berhenti di absensi online.
Konsekuensi Akademik dan Sosial
Kelemahan literasi digital akademik tidak berhenti di kampus. Ia membawa konsekuensi berantai terhadap kualitas lulusan dan daya saing bangsa. Mahasiswa yang tidak terbiasa disiplin di LMS akan kesulitan beradaptasi dengan dunia kerja digital, di mana sistem berbasis data dan pelaporan mandiri menjadi standar.