Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mahasiswa semester 07 prodi PIAUD fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo. Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Brain Rot: Ketika Video Pendek Merampas Konsentrasi Kita

21 September 2025   10:15 Diperbarui: 21 September 2025   10:15 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan Anda berkata pada diri sendiri, "Aku akan menonton satu video lagi lalu berhenti," namun tiba-tiba mendapati waktu berlalu berjam-jam tanpa terasa? Jika iya, Anda tidak sendirian. Fenomena ini menjadi pengalaman umum di era digital, khususnya di tengah maraknya platform video pendek seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts.

Fenomena ini populer dengan sebutan "Brain Rot" atau pembusukan otak, istilah yang mencuat karena banyak orang merasa daya konsentrasi dan pikirannya semakin tergerus oleh banjir konten singkat.

Apa Itu "Brain Rot"?

Brain Rot bukan istilah medis, melainkan slang populer untuk menggambarkan kondisi di mana otak terasa "berkabut" setelah terlalu lama mengonsumsi konten instan yang dangkal. Gejalanya mencakup sulit fokus, menurunnya rentang perhatian, hingga kesulitan berpikir kritis.

Istilah ini bahkan menjadi perhatian global setelah Oxford Dictionaries menobatkannya sebagai "Word of the Year 2024." Hal ini menandakan bahwa fenomena Brain Rot benar-benar dirasakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

Mengapa Brain Rot Bisa Terjadi?

Ketergantungan terhadap menonton video pendek bukan semata soal lemahnya kemauan pribadi, melainkan hasil desain platform digital yang memang dirancang untuk membuat pengguna sulit berhenti. Beberapa mekanisme di baliknya antara lain:

  • Ledakan Dopamin Instan: Setiap video baru yang menarik memberi "hadiah" kecil berupa dopamin, hormon yang memicu rasa senang. Otak terbiasa mencari dorongan instan ini, hingga sulit berhenti.
  • Algoritma Super Pintar: Platform sosial media diprogram untuk mempelajari preferensi Anda dengan cepat, lalu menyajikan aliran konten tanpa akhir yang sangat personal.
  • Beban Kognitif Rendah: Menonton video pendek tidak butuh usaha berpikir mendalam. Aktivitas ini terasa ringan sehingga mudah menjadi pilihan saat lelah atau bosan, hingga membentuk kebiasaan berulang.

Gejala dan Dampak Brain Rot

Menghabiskan terlalu banyak waktu dengan konten instan dapat menimbulkan berbagai dampak nyata, di antaranya:

  • Kesulitan Fokus & Rentang Perhatian Menurun: Terbiasa dengan konten 15-60 detik membuat sulit untuk berkonstrasi pada aktivitas panjang seperti membaca buku atau bekerja.
  • Daya Ingat Melemah: Informasi yang datang bertubi-tubi membuat otak kesulitan menyimpan memori jangka pendek dengan efektif.
  • Berpikir Kirits Berkurang: Konten dangkal membuat otak kurang terlatih untuk menganalisis informasi secara mendalam.
  • Kecemasan & Stres Meningkat: Membandingkan diri dengan kehidupan orang lain di media sosial dapat memicu rasa cemas, stres, bahkan depresi.
  • Ketergantungan pada Stimulasi: Tanpa ponsel, Anda mungkin merasa gelisah atau bosan karena otak terbiasa dengan rangsangan cepat.
  • Gangguan Tidur: Cahaya biru layar ponsel dan konten yang merangsang membuat otak sulit rileks, sehingga kualitas tidur menurun.

Cara Melawan Brain Rot

Kabar baiknya, fenomena ini bisa dicegah dan dikendalikan. Berikut beberapa langkah praktis untuk mengambil kembali atas kebiasaan digital:

  • Batasi Waktu Layar: Gunakan fitur screen time atau pengatur waktu aplikasi. Para ahli menyarankan tidak lebih dari 1-1,5 jam per hari untuk media sosial.
  • Matikan Notifikasi: Notifikasi adalah "pancingan" utama. Dengan menonaktifkannya, Anda membuka aplikasi sesuai keinginan, bukan karena dipanggil oleh ponsel.
  • Kurasi Ulang Konten: Unfollow akun-akun yang menyajikan konten tidak bermanfaat. Sebaliknya, ikuti akun edukatif, inspiratif, atau sesuai minat yang lebih bermakna.
  • Cipatakan Waktu Offline: Tetapkan momen bebas gadget, misalnya saat makan, satu jam sebelum tidur, atau ketika bersama keluarga.
  • Kembangkan Hobi di Dunia Nyata: Membaca, menulis, berolahraga, melukis, berkebun, atau belajar keterampilan baru bisa membantu melatih kembali fokus jangka panjang.
  • Jauhkan Ponsel dari Tempat Tidur: Minimal satu jam sebelum tidur, hindari ponsel agar kualitas istirahat lebih baik.

Kesimpulan

Teknologi dan media sosial sejatinya adalah alat, bukan musuh. Dampaknya bergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Dengan kesadaran dan pengelolaan yang bijak, otak kita bisa tetap sehat dan tajam, meski hidup di tengah derasnya arus konten digital.

Jika Anda merasa sulit mengendalikan diri hingga berdampak pada kesehatan mental, jangan ragu mencari bantuan profesional seperti konselor atau psikolog.

Ingatlah: Satu video boleh menyenangkan, tapi hidup nyata menawarkan pengalaman yang jauh lebih berarti.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun