Mengusung Semangat Nasionalisme
Film animasi Merah Putih: One for All dirilis menjelang HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan misi besar: menghadirkan cerita penuh semangat persatuan. Delapan anak dari berbagai latar belakang budaya ditampilkan sebagai simbol keberagaman bangsa. Mereka bersama-sama berjuang mencari Bendera Pusaka yang hilang, sebuah kisah yang sarat makna patriotik.
Secara ide dan pesan, film ini layak diapresiasi. Mengangkat tema nasionalisme melalui medium animasi bukan perkara mudah, terlebih untuk menarik minat generasi muda agar lebih dekat dengan nilai-nilai cinta tanah air.
Namun, di balik pesan yang kuat, film ini menuai banyak kritik dari segi efek visual dan animasi. Gerakan karakter terlihat kaku, ekspresi wajah kurang hidup, serta transisi adegan masih terasa terburu-buru. Dari sisi pencahayaan, banyak adegan yang tampak datar dan minim nuansa sinematik, sehingga kehilangan daya tarik visual.
Banyak warganet menyebut kualitas visualnya mirip cutscene gim PlayStation 2 atau 3. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengingat film ini digarap dengan anggaran sekitar Rp 6,7 miliar jumlah yang cukup besar untuk ukuran film animasi Indonesia.
Dugaan Aset 3D Siap Pakai
Kritik semakin tajam ketika muncul dugaan penggunaan aset 3D siap pakai dari library seperti Reallusion. Walau sah-sah saja menggunakan aset eksternal, publik menilai penggunaan tersebut dilakukan tanpa penyesuaian mendalam, sehingga mengurangi kesan orisinalitas. Alhasil, beberapa adegan terkesan lebih seperti proyek animasi kilat ketimbang produksi layar lebar.
Perbandingan dengan Animasi Lokal
Jika dibandingkan dengan film animasi Indonesia lain seperti Battle of Surabaya (2015) atau serial Nussa (2019), kualitas Merah Putih: One for All tampak tertinggal. Battle of Surabaya misalnya, meski dirilis hampir satu dekade lalu, berhasil memadukan cerita menyentuh dengan animasi yang cukup rapi. Sementara Nussa membuktikan bahwa animasi lokal bisa tampil memikat dan relevan dengan standar tontonan anak modern.