Mohon tunggu...
Agya Aghniya Mafaza
Agya Aghniya Mafaza Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga NIM: 2410730096

Menulis untuk memahami, mendengar untuk merasakan dan berbagi untuk menginspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Teh Warga: UMKM Minuman Kekinian dengan Sistem Kemitraan

12 Juni 2025   18:53 Diperbarui: 12 Juni 2025   18:53 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerai Teh Warga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Yogyakarta bukan cuma kota pelajar, tapi juga kota dengan jumlah penjual minuman teh yang luar biasa banyak. Entah kamu sedang di utara atau selatan, pasti ada satu-dua gerai teh yang berdiri di pinggir jalan, mulai dari franchise besar, usaha rumahan, hingga gerobak kaki lima. Dari sudut kampus, pasar malam, hingga gang kecil perumahan, hampir di setiap radius 500 meter kamu bisa menemukan tempat yang menjual teh kekinian dengan berbagai nama dan merek.

Minuman berbasis teh sendiri memang masih jadi primadona. Selain lebih murah dibanding kopi kekinian, teh juga bisa dikombinasikan dengan berbagai rasa yakult, susu, mojito, buah-buahan, sampai topping jelly warna-warni yang semuanya mudah diterima lidah konsumen muda. Teh terasa lebih "ramah" dan bisa diminum kapan pun, baik siang panas maupun malam dingin. Tidak heran kalau banyak pelaku usaha menjadikan minuman teh sebagai bisnis awal yang menjanjikan.

Salah satu brand lokal yang berhasil meraih mitra di berbagai kota termasuk Yogyakarta adalah Teh Warga. Mengusung konsep kemitraan terjangkau dan produk dengan variasi luas, Teh Warga menawarkan solusi bisnis siap jalan dengan modal relatif kecil. Tidak heran jika brand ini banyak muncul di area kos-kosan, perempatan ramai, atau kawasan kuliner malam.

Salah satu mitra Teh Warga adalah Alya Kania (23), mahasiswi yang aktif membantu menjalankan gerai kecil berbentuk stand milik kerabatnya di wilayah Jalan Garuda, Yogyakarta. Meski tidak sepenuhnya dikelola sendiri, Alya mengaku ikut andil dalam operasional sehari-hari.

"Di Jogja mah yang jual teh banyak banget, hampir tiap gang ada. Tapi aku mikir, kenapa nggak sekalian bantu buka juga?" katanya sambil tersenyum ketika ditemui di gerainya. Ia menambahkan bahwa minuman teh tetap punya pasar sendiri meskipun saingannya banyak, karena orang-orang sudah terbiasa mencari minuman ringan dengan harga terjangkau.

Menurut Alya, salah satu kunci bertahan adalah kombinasi antara rasa, pelayanan, dan lokasi. "Kalau cuma enak doang tapi pelayanannya kurang ramah, susah juga. Kadang pembeli datang bukan cuma karena minumannya, tapi karena nyaman ngobrol dan nunggu," ujarnya sambil menuangkan teh ke dalam gelas plastik.

Alya juga menekankan bahwa meski ia bukan pemilik utama, ia ikut merasakan dinamika jatuh-bangunnya usaha ini. Mulai dari stok habis karena supplier telat, cuaca yang bikin penjualan anjlok, hingga momen-momen ramai menjelang malam minggu. Di kota yang sudah sangat padat dengan usaha kuliner kecil, terutama minuman kekinian, cerita Alya dan gerai Teh Warga miliknya bukan hanya gambaran dari bisnis yang dijalankan anak muda. Ia juga menjadi representasi dari semangat bertahan dan adaptasi di tengah pasar yang sudah sesak tapi tetap terbuka lebar.

Alya mengaku, awalnya ia hanyalah pelanggan setia Teh Warga. Ia sering membeli karena harganya ramah di kantong dan pilihannya banyak. "Awalnya cuma beli-beli biasa aja, soalnya murah dan rasanya enak. Terus kepikiran, kayaknya seru juga kalau buka sendiri," cerita Alya.

Rasa penasaran itu kemudian mendorongnya mencari tahu soal sistem kemitraan Teh Warga. Setelah ditelusuri, ia merasa cocok: modalnya tidak terlalu besar, brand-nya sudah dikenal, dan sistem operasionalnya cukup jelas. Ia hanya perlu menyiapkan lokasi, peralatan, dan bahan baku yang disediakan pusat.

"Sistemnya cukup jelas. Kita tinggal siapkan tempat, alat, dan bahan dari pusat. Harganya pun terjangkau," ujar Alya.

Kini, Alya membantu mengelola salah satu stand Teh Warga yang terletak di pinggir jalan kawasan padat kos-kosan di Yogyakarta. Gerainya berdiri sederhana, tapi bersih dan terang. Menu yang tersedia pun lengkap. Mulai dari teh original, teh tarik, teh susu, mojito, sampai yakult series. Label rasa dan harga tergantung rapi di bagian atas gerai, sehingga pembeli bisa langsung memilih sebelum memesan. Tak perlu bawa uang tunai pun tidak masalah, semua pembayaran bisa lewat QRIS.

Dengan pengelolaan yang simpel tapi rapi seperti ini, Alya berharap gerainya tetap bisa bersaing di tengah banyaknya penjual teh serupa. Ia sadar, pasar di Jogja sangat padat, tapi juga luas. Selama tetap jaga kualitas dan pelayanan, akan selalu ada pelanggan yang datang kembali.

Tapi bukan hanya sistemnya yang membuat Alya tertarik. Di balik keputusannya memilih bisnis teh, ada satu alasan besar yang tidak bisa diabaikan, teh itu diminati banyak orang. Di Jogja, apalagi di kawasan ramai mahasiswa, minuman berbasis teh seperti sudah jadi kebutuhan sehari-hari. Hampir di setiap sudut jalan, ada saja stand atau gerobak teh dengan antrian pembeli. Dari sinilah Alya melihat peluang, karena walau persaingan padat, permintaan juga terus ada.

Lalu, sebenarnya kenapa teh begitu digemari?

Popularitas teh sebagai minuman harian bukan sekadar tren sesaat. Dari dulu hingga sekarang, teh punya tempat tersendiri di hati banyak orang, mulai dari generasi tua yang terbiasa minum teh hangat di pagi hari, hingga anak muda yang memilih teh susu kekinian sebagai teman nongkrong atau nugas. Alasannya sederhana, teh itu fleksibel, mudah diterima, dan selalu relevan.

1. Terjangkau dan bisa dinikmati siapa saja

Harga teh relatif lebih ramah dibandingkan kopi atau minuman berbasis espresso yang kadang mematok harga lebih tinggi. Bahkan dengan tambahan topping, varian rasa, atau kemasan kekinian, segelas teh tetap bisa dibeli dengan uang saku mahasiswa atau pelajar. Inilah kenapa banyak usaha kecil memilih menjual teh: pasarnya luas. Kamu bisa menjual teh tarik creamy dengan topping boba, atau teh asam segar dengan yakult dan irisan lemon, dan tetap punya pembeli yang loyal.

2. Cocok di berbagai suasana

Teh bisa diminum kapan saja, entah itu pagi, siang, sore, bahkan malam. Ia tidak terlalu berat, tidak membuat deg-degan seperti kopi, dan cocok di segala cuaca. Saat panas, teh es segar bisa melepas dahaga. Saat hujan atau dingin, teh hangat bisa jadi teman yang menenangkan. Buat banyak orang, teh bukan cuma minuman, tapi mood booster. Bahkan sebelum aktivitas dimulai, satu gelas teh sudah bisa jadi pengantar yang baik untuk hari yang lebih produktif.

3. Variasi rasa yang terus berkembang

Salah satu kekuatan teh dibanding minuman lain adalah kemampuannya untuk "beradaptasi". Teh bisa dibuat klasik (seperti teh tawar atau teh melati), atau dimodifikasi jadi menu modern: teh susu, teh yakult, mojito tea, matcha, thai tea, dan masih banyak lagi. Brand seperti Teh Warga menangkap ini dengan baik: menawarkan menu yang variatif tapi tetap mudah diakses.

Teh tidak pernah terasa membosankan karena selalu bisa tampil dengan rasa dan tampilan baru. Bahkan dalam bisnis, variasi inilah yang bisa mempertahankan pelanggan untuk datang kembali.

Jadi, kalau ditanya kenapa teh tetap digemari?

Karena ia sederhana tapi bisa jadi apapun, dan karena teh bisa hadir dalam berbagai bentuk tanpa kehilangan esensi dengan memberi rasa nyaman di tengah hari yang ramai. Apalagi di kota seperti Jogja, di mana gaya hidup cepat dan kantong hemat bertemu, teh adalah jawaban yang tetap relevan.

Dengan semua kelebihan teh dari harganya yang terjangkau sampai rasanya yang fleksibel, usaha minuman ini memang tampak menjanjikan. Tapi kenyataannya, menjalankan bisnis kecil seperti Teh Warga tetap penuh tantangan. Alya sendiri merasakannya, terutama saat cuaca tak bersahabat atau persaingan makin ketat.

Seperti kebanyakan usaha kecil lainnya, perjalanan Alya tidak selalu mulus. Salah satu tantangan utama yang ia hadapi adalah cuaca. "Kalau hujan, langsung sepi. Jarang banget orang mau berhenti beli minuman dingin di tengah hujan," keluhnya sambil tetap melayani pembeli yang datang sore itu. Ia mengaku, di musim hujan, omzet bisa turun drastis dibanding hari-hari biasa. Tapi menutup gerai bukan pilihan.

Ia menyiasatinya dengan tetap buka, meskipun pengunjung sepi. "Minimal tetap kelihatan aktif. Kadang ada aja yang mampir walau cuaca kurang bersahabat," katanya. Menurutnya, kehadiran yang konsisten di tempat membuat pelanggan tahu bahwa gerai ini bisa diandalkan kapan pun mereka ingin beli.

Selain cuaca, persaingan juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan begitu banyak gerai minuman teh di Yogyakarta, dari yang kaki lima sampai franchise besar, Alya harus pintar-pintar menjaga loyalitas pelanggan. "Karena yang jual teh itu banyak banget, kita harus pintar cari lokasi dan menjaga rasa. Kalau rasanya beda dikit aja, orang bisa pindah ke tempat sebelah," tambahnya.

Ia juga mengamati bahwa sebagian pelanggan sangat sensitif terhadap harga dan rasa. Maka dari itu, meskipun bahan baku sudah disediakan pusat, proses penyajian harus tetap konsisten. "Kadang ada yang komen, 'Kok yang ini kurang manis ya?' Nah itu jadi catatan buat kami," ujar Alya.

Di tengah tantangan tersebut, Alya tetap optimis. Baginya, usaha kecil seperti ini bukan hanya soal cuan, tapi juga belajar konsisten dan bertanggung jawab. "Namanya juga usaha, pasti ada naik turunnya. Tapi kalau nggak dijalani, nggak tahu bisa sampai mana," pungkasnya.

Usaha ini dijalankan Alya sambil menjalani rutinitas kuliah. Ia membuka gerai setiap siang hingga malam hari. Kadang dibantu oleh keluarganya sendiri atau teman dekat, tapi tak jarang Alya harus menjalankannya sendirian, dari menyiapkan bahan, melayani pembeli, hingga membersihkan stand. Meski lelah, ia tidak mengeluh. Justru ada kepuasan tersendiri yang ia rasakan.

"Paling nggak, aku bisa bantu biaya kuliah sendiri. Dan ada rasa puas aja gitu, tiap ada pembeli balik lagi," ujarnya. Pembeli yang datang kedua kali, menurut Alya, adalah validasi bahwa usahanya layak dilanjutkan.

Ke depan, Alya punya harapan sederhana tapi jelas: menambah satu gerai baru di lokasi strategis, serta memperluas menu yang bisa disajikan. Ia juga ingin mulai menawarkan varian minuman hangat, sebuah respons langsung terhadap tantangan musim hujan yang ia hadapi.

Usaha kecil seperti yang dijalankan Alya Kania membuktikan bahwa peluang bisa ditemukan di mana saja, bahkan dalam pasar yang sudah sangat jenuh. Di tengah kota seperti Yogyakarta yang penuh dengan gerai minuman teh dari ujung ke ujung, masih ada ruang untuk tumbuh asal ada konsistensi, ketekunan, dan kemauan untuk terus belajar dari hari ke hari.

Dan mungkin, di balik setiap gelas teh yang tampak sederhana itu, ada cerita kerja keras yang tidak semua orang tahu. Seperti Alya, yang membuktikan bahwa dari satu stand kecil di pinggir jalan, bisa tumbuh semangat yang besar.

Jika kamu melihat gerai kecil berlabel Teh Warga di salah satu sudut Jogja, bisa jadi itu bukan sekadar tempat beli minuman, tapi juga titik awal dari mimpi yang sedang dijalani perlahan.

Alya Kania, mitra usaha Teh Warga, bersama penulis di depan gerainya di Yogyakarta. (Sumber: Dokumentasi pribadi)
Alya Kania, mitra usaha Teh Warga, bersama penulis di depan gerainya di Yogyakarta. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun