Ketidaksepakatan menjadi perdebatan yang tajam. Mengerek tinggi-tinggi bendera permusuhan. Sesumbar, tantangan, dan ancaman menyeruak tanpa bisa dikendalikan.
Saya, dan mungkin juga dialami banyak orang, pernah melihat fenomena memilukan ini: ketika keguyuban WAG berubah menjadi kicauan amarah dan syak wasangka.
Ceritanya, saat itu, jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Yang memunculkan dua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin melawan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Semula, di WAG ada yang men-share berita, gambar, meme, video, dan lainnya untuk mendukung Jokowi-Ma'ruf. Lalu dibumbuhi celetukan bernada guyon dan setengah menyidir.
Pendukung Prabowo-Sandi pun tidak mau kalah. Mereka juga melakukan hal serupa, yakni dengan men-share konten-konten yang berpihak pada calonnya.
Semula, hanya sekadar share, lalu saling menanggapi. Hingga muncullah perdebatan. Memanas. Masing-masing pihak mempertanyakan kualitas, kapasitas, bahkan mencuatkan berbagai stigma negatif dari kasus-kasus yang terekam jejak digital.
Perdebatan menjurus sengit. Yang patut disayangkan tentu ada yang berdebat tidak ilmiah. Lebih pas disebut debat kusir yang tak ubahnya melihat orang eyel-eyelan di warung kopi.
Â
Celakanya, dari nyinyir lalu berlanjut saling olok. Menjelekkan-jelekkan dengan kata-kata (maaf) sungguh kasar. Bahkan celakanya ada yang main ancam. Keadaan pun akhirnya sulit dikendalikan.
Sementara kawan yang lain mencoba menengahi. Tapi hal itu tak kelewat mempan alias muspro. WAG pun riuh dengan umpatan, caki maki, dan hujatan.
Saya menjadi saksi, banyak di antara mereka yang berseteru tersebut awalnya berkawan baik. Teman dari kecil, teman semasa sekolah. Ada juga yang sebelumnya menjadi satu jamaah pengajian dan organisasi kemasyarakatan Islam.
Â
***
Gejala keretakan itu cukup menguat sekarang. Boleh dibilang mulai memanas. Fenomena ini diyakini akan makin meruncing ketika pelaksanaan Pilpres 2024 makin dekat.