Pamornya tak kalah dengan sederet penyanyi perempuan legendaris lainnya. Sebut saja, Diana Ross, Whitney Houston, Barbra Streisand, Natalie Cole, dan Mariah Carey.
Suatu ketika, tahun 2000, Dionne Warwick tampil di Jakarta. Saya sejatinya kebelet nonton. Namun setelah tahu tiketnya mahal, plus butuh biaya akomadasi yang gak sedikit, saya urungkan niat.
Saat itu, saya berharap ada televisi yang mau menyiarkan konser Dionne Warwick. Sehingga bisa memenuhi dahaga untuk mendengarkan suaranya. Namun ternyata tidak ada.
Yang beruntung teman saya, namanya Wenny Bukamo. Waktu itu, ia menjabat anggota DPRD Kota Surabaya. Seorang anggota TNI Angkatan Udara. Bergabung di Fraksi TNI/Polri. Tahun 1999-2004, militer dan polisi masih diperbolehkan duduk di legislatif.
Wenny menyaksikan konser Dionne Warwick di Jakarta. Dia mengaku sangat terhibur. Hampir sepanjang konser dia merasakan kesyahduan, dadanya berdebar, dan sesekali air matanya meleleh.
Â
***
Hari-hari ini, saya lagi banyak membatin. Mengamati gelagat kawan-kawan di tahun politik. Melihat keriuhan dan gairah mereka jelang digelarnya pesta demokrasi yang bakal berlangsung pada 2024 mendatang.
Atmosfer dukung mendukung mulai berasa. Kian hari kian berasa menghangat. Meski belum satu pun pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang sudah direkom maju Pilpres 2024.
Jujur, saya menjadi cemas bila teringat peristiwa masa sebelumnya. Melihat atmosfer jelang perhelatan pesta demokrasi. Di mana persepsi publik terhadap urusan politik acap terbelah.
Dampaknya cukup serius. Karena perdebatan panjang itu, dengan diimbuhi pemihakan, nyatanya berpengaruh dalam urusan pertemanan atau persahabatan.
Buntut preferensi politik, persahabatan pun menjadi retak. Muncul friksi-friksi. Dari kecil, lalu melebar, mendalam, dan membesar. Seperti jalan rusak yang dibiarkan tanpa perbaikan.