Semula, aku sama sekali tak tergerak untuk menanggapi sas-sus itu. Yang marak dibicarakan para tetanggaku, belakangan ini. Cerita-cerita yang mengumbar keseraman dan acap membuat dada menggigil. Tentang rumah yang belum lama kutempati ini. Rumah lawas warisan kolonial, dibangun tahun 1953.
Kali pertama kudengar pengakuan Sobirin, pengepul besi tua, yang rumahnya bersebelahan dari rumahku. Pria asal Madura itu, mengaku melihat makhluk aneh berlarian di atas atap rumahku. Ia, yang saat itu menggodong anak bungsunya berusia 3 tahun, tersentak bukan kepalang.
"Larinya mental-mentul gitu, Pak. Empat yang saya lihat. Lari ke kiri, ke kanan, berhenti lalu menghilang."
"Seperti apa makhluk itu, Kak Toan?" aku penasaran dengan menyebut sapaan karibnya. Â Â Â Â
Sobirin lantas bercerita sambil berapi-api. Dia bilang, makhuk itu berambut geni, terlihat menyala. Kedua kupingnya lebar dan besar. Seluruh tubuhnya berbulu. Lebat. Jenggotnya panjang, serupa rambutnya. Sosoknya pendek, lebih pendek dari kurcaci yang pernah dilihatnya di film yang diputar di bioskop.
Belum sempat kutanya lagi, Sobirin lantas menceritakan pengalamannya. Saat melihat makhluk yang nyaris sama di rumah kakeknya, di Camplong, Bangkalan.
"Persis, Pak. Sungguh. Saya pernah melihat makhluk seperti itu."Â
Aku sengaja tak menyela, membiarkan Sobirin nyerocos dengan logat khas Madura yang lugas dan cepat. Berikut kedua tangannya yang juga tak berhenti bergerak.
Dasarnya, aku memang tak kelewat tertarik membicarakan makhluk gaib. Makanya, semua ucapan pria berkumis lebat itu kuangap sebagai orang yang sedang promosi makanan yang biasa lewat di kampungku.
Aku menganggap Sobirin sedang berhalusinasi, atau lagi banyak masalah dengan pekerjaan dan rumah tangganya. Makanya, dia berbicara mirip orang meracau.