Pak Munawar bilang, ada enam jin di rumahku, terdiri dari kakek nenek, bapak ibu, dan dua anak.
"Mereka jin pejuang, karena leluhurnya memang bekas pejuang."
"Aku tak bisa melihatnya, tapi aku bisa merasakannya," begitu Pak Munawar bilang, setelah ia mengusap kepala anakku dengan air putih yang telah dia doai.
Pak Munarwan lalu mengatakan jika manusia tak boleh mengabaikan hal yang gaib, tapi mengimaninya.
Jin dan manusia itu sama-sama ciptaan Allah. Yang seharusnya tunduk, patuh, dan beribadah kepada Allah. Makanya, ada jin muslim dan jin kafir. Manusia pun begitu, begitu kata Pak Munawar.
"Gini, mas cari tasbih sekarang. Cari yang warnanya coklat muda, ya."
"Tasbih seperti itu yang diminta jin agar dia tak mengganggu lagi."
"Ada serah terimanya."
Malam itu, aku bergegas ke Ampel, lokasinya cukup aku tempuh dengan jalan kaki dari rumah. Tak kelewat sulit mencari tasbih di sana, hanya untuk warna coklat muda tidak kelewat banyak. Aku membeli tiga tasbih, sekalian buat cadangan.
Oleh Pak Munarman aku kemudian disodori selembar kertas, setelah kulihat ternyata berisi beberapa zikir yang masing-masing harus dirapal ribuan kali. Zikir dan doa itu dibaca di sepertiga malam. Kemudian tasbih itu diminta diletakkan.
 Pandum jam berasa berputar lebih cepat. Saat istri dan anak-anakku terlelap, aku terbangun lalu mengambil air wudlu sebelum kutunaikan hajat, seperti saran Pak Munarman.