Dua pekan berlalu, aku berharap tak mendengar lagi cerita-cerita soal rumahku. Cukup Sobirin saja yang mulai aku lupakan. Â Â
Malam, di dekat Kampung Menara, ada pengajian, hajatan Mas Angger jelang keberangkatan ke Tanah Suci. Di sana ada Faris, kerabatku, pemilik showroom motor-motor tua. Saat datang, dia bergegas duduk di sebelahku. Aku lalu menyalaminya, menanyakan kabar dia dan keluarganya. Kebetulan, adik Faris menikah dengan anak  kakak pertamaku.
Aku menangkap kesan agak aneh dari sikap Faris kepadaku. Tatapan matanya mengundang keingintahuan. Aku tak ingin menanyakan selain membatin, seraya berharap tak ada hal buruk yang menimpa dirinya.
"Mas, waktu di rumahmu, Ricky merengek-rengek, memaksa ngajak pulang. Aku kira dia lagi ngantuk. Eh, semalaman dia ketakutan," Faris menceritakan anaknya yang baru berusia tiga setengah tahun.
"Dia menangis ketakutan. Dia menggigil."
"Ricky juga sering meracau, bilang ada orang jelek...."
Kecemasan Faris bertambah lantaran sang buah hati jarinya nujuk-nunjuk ke atas almari. Melihat sesosok makhuk berwajah menyeramkan yang meloncat-loncat.
Â
***
Aku menyelesaikan proses pembelian rumah itu sebelum pemiliknya yang karib disapa Om Liem meninggal dunia. Aku mengenal dia saat meliput Perayaan Kasada di kawasan Gunung Bromo.
Aku membawa pulang sertifikat rumah yang belum balik nama dari Om Liem, setelah permintaan kreditku diterima. Motivasiku membeli rumah terdorong kuat setelah dinasihati Pak Mentik, teman sekolah ayahku. Dia orang yang dermawan. Punya puluhan hektar tanah, hampir separo sebagian sudah dibangun menjadi perumahan, apartemen, dan ruko. Â