Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jin Pejuang

8 Februari 2023   12:28 Diperbarui: 8 Februari 2023   12:41 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: pixabay 

"Membeli rumah itu seperti naik haji. Kamu tak bisa berniat saja, tapi harus berani mengeksekusinya."

"Sekarang, kamu mau tunggu apa lagi? Apa mau kamu hitung-hitung teris pendapatanmu? Aku yakin besarnya kenaikan gajimu gak bakalan menandingi kenaikan harga tanah. Sampai kapan pun," Pak Mentik menjelaskan dengan mimik serius.

Aku juga bisa merasakan betapa girang hati istriku. Setelah bertahun-tahun hidup pindah dari rumah kontrakan satu ke kontrakan lain. Kini kami bisa segera pindah ke rumah baru, sekaligus menyambut kelahiran anak kami yang ketiga.

Rumah yang kami beli berukuran 10x12 meter persegi. Bangunannya masih kokoh. Hanya beberapa bagian temboknya yang catnya melepuh dan terbedaki debu. Atap  kayu di bagian depan, tengah, dan belakang depan masih bagus. Hanya keramik lantai di bagian dapur kondisinya sudah remuk.    

Lokasi rumah kami di perkampungan padat huni. Berdekatan dengan pasar tradisional. Di kawasan itu banyak berdiri rumah-rumah kuno. Sebagian besar tidak terawat.

Dulu, aku mengincar rumah berciri empire style. Rumah tidak bertingkat, menggunakan atap perisai, dan halamannya luas. Dari referensi yang aku baca, bangunan model itu muncul tahun 1850 hingga 1900-an.

Sebagian rumah di kampung itu juga ada yang berarsitektur jengki atau yankee style. Nah, kalau model ini, aku dapat pengetahuan dari Prof Johan Silas. Dia seorang guru besar ITS, ahli di bidang tata kota. Reputasinya jempolan. Beberapa kali aku sempat berdiskusi dengannya. Juga menulis pandangan-pandangan dia tentang dinamika kota.

Prof Johan mengamati mendalam perkembangan arsitektur, termasuk langgam jengki yang katanya sebagai gaya arsitektur asli Indonesia. Dia bilang karya-karya arsitek Tanah Air banyak bermunculan pada tahun 1950 hingga 1960-an.

Kata dia, bentuk jengki diduga hendak menjiwai rasa kemerdekaan terhadap penjajahan Barat.

"Hasilnya adalah gaya bebas. Yang didominasi oleh garis miring untuk tiang, dinding, dan bentuk-bentuk bebas lainnya. Seperti lengkung dan kubah justru dihindari oleh arsitektur modern," sebut dia.

Warga yang bermukim di kampungku cukup beragam. Mereka dari Jawa, Madura, dan Tionghoa. Belakangan, warga keturunan Tionghoa mulai berkurang. Banyak anak-anak mereka ogah menempati rumah orantg taunya, memilih pindah di perumahan-perumahan elit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun