Kesalahan itu benar-benar saya alami. Saya tak pernah mengecek kondisi barang hari demi hari. Hanya menerima setoran uang dari pegawai. Belakangan, saya baru tahu jika barang keluar di toko tidak sama dengan uang yang disetorkan.
Â
Kondisi keuangan toko mulai kocar-kacir. Karena tak ada lagi uang yang di-autodebet, saya dan juga pedagang lain mulai telat membayar utang. Satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan. Jika ada uang, saya membayar melalui transfer.
Â
Karena menunggak, sering kali pegawai BUMN mengontak saya dan juga pedagang lain yang kadung mengambil kredit. Sehari bisa 4-5 kali menelepon. Menagih utang. Gak enak rasanya. Tapi bagaimana lagi, kondisi pasar memang lagi kusut.
Program ini juga ditawarkan ke pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Modelnya hampir sama. Bunganya enam persen. Hanya jumlah  kredit yang diambil lebih kecil, di bawah Rp 50 juta. Ada banyak UMKM yang mengambil. Belakangan saya tahu kalau tak sedikt yang molor bayar utang. Satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan. Terlebih setelah dihantam pandemi Covid-19.
Pada suatu kesempatan, saya pernah mengisi pelatihan bareng salah seorang perwakilan BUMN yang menangani masalah utang itu. Mungkin dia lupa mengamati wajah saya. Tapi saya ingat. Di sela acara, saya bertanya soal kredit kepada pedagang dan UMKM. Dia bilang banyak yang menunggak. Saya pun terdiam. Memilih lebih banyak mendengarkan penjelasan dia. Hiks.. (agus wahyudi)