Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Sumpeknya Terlilit Utang buat Modal Usaha

9 Agustus 2020   14:04 Diperbarui: 9 Agustus 2020   18:30 281 30
Agak malu rasanya menceritakan pengalaman ini. Tapi, ya sudahlah. Semoga bisa menjadi pelajaran. Terutama bagi mereka yang punya hasrat dan mimpi-mimpi besar nan indah menikmati madu menjadi pelaku usaha.

Ceritanya, tahun 2011. Masa itu, saya membuka toko di Pasar Kapas Krampung alias Pasar Tambahrejo. Salah satu pasar legendaris di Surabaya. Pasar Kapas Krampung pernah dua kali terbakar. Hingga kemudian direvitalisasi yang melibatkan pihak swasta. Yang kemudian menggabungkan keberadaan pusat perbelanjaan dan pasar tradisional. Di mana untuk perbelanjaan diberi nama Kaza City Mall.  
 
Sebelum terbakar, Pasar Kapas Krampung tercatat menjadi salah satu pasar kelas A. Saban hari dipadati pengunjung. Baik dari Surabaya maupun daerah lain di Jawa Timur. Namun setelah direvitalisasi, pengunjung pasar tersebut menurun drastis.  

Waktu itu, modal membuka toko tersebut tidak kelewat besar. Karena di Pasar Kapas Krampung ada program sewa stan murah. Nilainya Rp 2 juta per tahun. Dari nilai itu, penyewa bisa memakai stan berukuran 3x2 meter persegi. Fasilitas lain, penyewa bebas bayar service charge selama setahun. Setelah itu, penyewa atau pedagang bisa mengajukan kepemilikan stan dengan status hak milik satuan rumah susun nonhunian atau strata title.

Saya putuskan ikut program tersebut. Karena jauh sebelumnya, saya bermimpi bisa menjadi pelaku usaha. Punya aset. Punya pegawai. Meski tanpa meninggalkan pekerjaan sebagai jurnalis yang saya tekuni sejak tahun 1997.

Keputusan bulat. Saya ikut program tersebut: menyewa stan di lantai dua Pasar Kapas Krampung. Hati saya berbunga-bunga. Mengapungkan asa setinggi langit. Beberapa hari setelah menerima kunci stan, saya melakukan perbaikan. Juga pemasangan papan nama.

Selain itu, saya juga harus memikirkan satu hal lagi. Apa itu? Produk yang saya jual. Sebelumnya, saya berdiskusi dengan istri untuk menjual berbagai aneka aksesoris. Kebetulan istri punya skill membuat aksesoris. Berikut tempat-tempat kulakan bahannya.

Ketika itu, saya banyak berdiskusi dengan beberapa pedagang Pasar Kapasan. Kebetulan, mereka juga berminat ikut program tersebut. Para pedagang Pasar Kapasan itu rata-rata sudah besar. Pemain grosiran garmen, begitu biasa disebut. Mereka kerap mengirim barang ke luar pulau.

Di Pasar Kapas Krampung itu, para pedagang Pasar Kapasan ingin mengembangkan usaha. Menancapkan cakar bisnisnya. Seperti tips yang lazim disampaikan dalam berinvestasi. "Jangan menaruh telur dalam satu keranjang. Karena kalau keranjang itu jatuh, maka semua telurmu akan ikut jatuh dan pecah."  


***

Awal mulai jualan, saya ditanya seorang teman, apa alasan memilih berjualan di Pasar Kapas Krampung? Saya jawab karena tidak kelewat jauh dari rumah. Dan yang paling penting, harga sewa stannya masih terjangkau.  

Lantas, teman saya melanjutkan, bagaimana dengan pengunjung? Apakah sewa stan yang murah karena pasar tersebut sepi? Sehingga manajemen berniat meramaikan pasar tersebut dengan memberi diskon sewa besar-besaran? Nilainya jauh di bawah harga normal, bahkan di bawah harga stan di pasar-pasar lain? Bukankah lebih baik sewa stan agak mahal tapi pasar sudah jadi alias banyak pembeli?

Saya agak "tersenggol" dengan pertanyaan tersebut. Karena harga pasaran sewa stan di sana sebelumnya relatif tinggi. Untuk ukuran 3x2 meter persegi, harganya bisa puluhan juta rupiah. Karena bangunan di pasar tersebut relatif baru dan bagus.  

Saya juga mendapat informasi, sebelumnya sudah beberapa pedagang yang buka di lantai 2 Pasar Kapas Krampung. Bahkan sebagian besar mereka bukan menyewa, melainkan membeli stan. Hanya lantaran sepi pengunjung, aktivitas mereka menyusut. Banyak yang ogah-ogahan melanjutkan jualan hingga menutup stannya.
 
Lha, apakah sewa stan murah karena pengunjung sepi? Ya, sangat beralasan. Meski tidak disampaikan terbuka oleh manajemen pasar, namun saya pun bisa mengamini premis tersebut. Manajemen pasar memberikan tenggat waktu lama agar bisa meramaikan pasar.  
 
"Namun, bukankan usaha butuh perjuangan. Termasuk meramaikan pasar ini?" begitu saya beralasan.

Saya juga menyatakan masih optimistis bisa! Karena ada banyak teman, terutama pedagang dari Pasar Kapasan yang akan membantu. Mereka kan punya pelanggan, pasti akan berbondong-bondong datang belanja di sini. Tak hanya itu, manajemen pasar menjanjikan akan melakukan promosi besar-besar untuk mendatangkan pengunjung. Baik event maupun diskon belanja.


***

Saya mendapat tawaran mengajukan kredit usaha dari salah satu BUMN. Bungannya 6 persen per tahun. Jaminannya cukup BPKB motor. Maksimal pengajuan kredit Rp 75 juta. Untuk pengajuannya kami harus mengisi form berlembar-lembar. Dari awal merintis usaha, perhitungan pendapatan, target, dan seterusnya. Setelah menyerahkan form itu, dilakukan survei.

Tawaran serupa juga diberikan kepada beberapa pedagang lain di Pasar Kapas Krampung. Kami akhirnya mengambil kredit tersebut. Tahap awal, kami diperbolehkan mengambil kredit paling tinggi Rp 50 juta. Cicilannya sekitar Rp 2,3 juta sebulan. Jika bisa melunasi, bisa mengambil kredit lagi paling tinggi, yakni Rp 75 juta.

Serasa mendapat suntikan untuk modal, saya makin bersemangat. Membesarkan usaha. Saya pakai separo kredit tersebut. Untuk memasok barang, biaya operasional, dan lainnya. Sisanya saya tetap simpan di tabungan.

Enam bulan, saya merasa tak ada "beban" membayar cicilan atau utang. Secara rutin rekening terpotong setiap bulannya melalui autodebet. Itu sesuai kesepakatan awal saat penandatangan akad kredit.

Namun sesudahnya mulai berat. Pasalnya, kondisi pasar tak kunjung bergairah. Beberapa program sempat diujicobakan. Salah satunya membuat grosir malam. Ada pertumbuhan, tapi tidak bisa bertahan lama. Begitu pun dengan program pedagang baru yang memberikan opsi bisa menyewa stan sekaligus mendapat barang dagangan. Program ini hanya bertahan beberapa bulan saja.

Waktu itu, saya juga baru sadar, jika punya usaha itu harus bisa dikontrol. Tidak bisa hanya percaya begitu saja pada orang lain. Karena hasilnya pasti tidak akan maksimal. Bahkan bisa merugi.

Kesalahan itu benar-benar saya alami. Saya tak pernah mengecek kondisi barang hari demi hari. Hanya menerima setoran uang dari pegawai. Belakangan, saya baru tahu jika barang keluar di toko tidak sama dengan uang yang disetorkan.
 
Kondisi keuangan toko mulai kocar-kacir. Karena tak ada lagi uang yang di-autodebet, saya dan juga pedagang lain mulai telat membayar utang. Satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan. Jika ada uang, saya membayar melalui transfer.
 
Karena menunggak, sering kali pegawai BUMN mengontak saya dan juga pedagang lain yang kadung mengambil kredit. Sehari bisa 4-5 kali menelepon. Menagih utang. Gak enak rasanya. Tapi bagaimana lagi, kondisi pasar memang lagi kusut.

Program ini juga ditawarkan ke pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Modelnya hampir sama. Bunganya enam persen. Hanya jumlah  kredit yang diambil lebih kecil, di bawah Rp 50 juta. Ada banyak UMKM yang mengambil. Belakangan saya tahu kalau tak sedikt yang molor bayar utang. Satu bulan, dua bulan, hingga berbulan-bulan. Terlebih setelah dihantam pandemi Covid-19.

Pada suatu kesempatan, saya pernah mengisi pelatihan bareng salah seorang perwakilan BUMN yang menangani masalah utang itu. Mungkin dia lupa mengamati wajah saya. Tapi saya ingat. Di sela acara, saya bertanya soal kredit kepada pedagang dan UMKM. Dia bilang banyak yang menunggak. Saya pun terdiam. Memilih lebih banyak mendengarkan penjelasan dia. Hiks.. (agus wahyudi)









KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun