Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Persoalan Lokal yang Perlu Solusi dalam Beberapa Diskusi Sastra di Balikpapan

23 Oktober 2019   15:00 Diperbarui: 23 Oktober 2019   15:07 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hanya dua minggu saya berada di rumah (Balikpapan). 10/10 saya pulang, dan 24/10 saya pergi lagi. Obrolan seputar ibu kota baru beserta rumor kenaikan harga lahan, tentang peristiwa 9 sampai 16 Oktober, tentang pertemuan dengan orang-orang baru dalam satu visi untuk Balikpapan, pekerjaan rumah yang terbengkalai selama lebih lima bulan, dan seterusnya.

Sementara saya sengaja melewatkan berita atau peristiwa nasional seputar pelantikan Jokowi-Ma'ruf Amin, dan menteri-menteri dalam Kabinet Kerja II. Sebagian teman di media sosial membicarakan perihal berita nasional pun saya lewatkan, bahkan Kompasiana jarang sekali saya intip.

Diskusi yang Proggresif
Pasca-diskusi "Menerbitkan Buku itu Gampang" (16/10) di sebuah kafe kawasan mewah berlanjut ke diskusi kecil di warung kopi lainnya hingga kesepakatan membuat grup di Whatsapp (WA) sebagai wadah diskusi "tercepat". Kehadiran dua wartawan, baik untuk harian regional maupun nasional, dan berminat pada sastra di Balikpapan turut menguatkan kesepakatan itu.

Meski dua minggu berada di kota halaman, saya tidak bisa tinggal diam seperti sejak 18 Oktober 2014. Beberapa malam saya luangkan waktu untuk hadir dalam diskusi mereka.

Dalam beberapa kali diskusi kecil, saya menduga bahwa kedua wartawan sedang menampilkan keprihatinan atas perkembangan dunia tulis-menulis, sastra, dan literasi di Kota Minyak. Saya maklum, karena keduanya belum beberapa bulan berdomisili di kota ini.

Ya, persoalan yang menahun yang saya amati, dan muncul kembali di depan kami tidaklah jauh dari urusan tulis-menulis dan regenerasi penulis. Mundurnya saya dalam geliat berkarya secara kolektif (18/10/2014) bukanlah tanpa alasan yang fundamental.

Sekian tahun saya melihat bahwa sepinya geliat kajian karya, baik esensi maupun substansi, belum pernah tuntas untuk dibahas, dipahami, dan ditindaklanjuti. Apresiasi terhadap hak kekayaan intelektual masih sunyi. Selebrasi bertabur puja-puji atas suatu kegiatan dan karya justru sering terjadi.

Ruang Sastra dan Imbalan
Seorang penulis (saya lupa namanya, dan kapan) pernah menyatakan bahwa menulis merupakan sebuah kerja budaya. Seketika pemilihan kata "kerja" mengesampingkan kesan "belajar", "main", "piknik", atau "pesta".

Tidak sedikit masyarakat, bahkan kalangan intelektual di Balikpapan hingga perkembangan mutakhir yang benar-benar memahami bahwa menulis merupakan sebuah kerja budaya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan tradisi itu sendiri, selain para pendatang yang lebih berfokus pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup, apalagi Kota Minyak terkenal dengan biaya hidup termahal di Indonesia.

Selanjutnya adalah regenerasi penulis setelah esensi dan substansi sebuah kaya tulis-menulis benar-benar dipahami dan ditindaklanjuti. Daerah lain, misalnya Kalsel, Babel, NTT, dan lain-lain, terlebih Sumatera, Jawa, dan Bali, selalu mampu meregenerasi penulis.

Dari diskusi pada 19/10 di sebuah warung kopi Kilo 4 seorang wartawan pindahan dari Medan pun menindaklanjuti dengan membuka ruang  budaya di media daring-nya untuk setiap minggu. Cerpen, puisi, esai budaya, resensi buku, dan lain-lain dibukanya, dan dikhususkan hanya untuk pelajar dan mahasiswa di Balikpapan.

Ruang budaya pernah dibuka-ditutup oleh media-media cetak lokal. Ada pula ruang opini. Akan tetapi, media massa lokal tidak juga memberi kompensasi (honor) bagi para kontributor tulisan. Hal ini jelas menjadi keprihatinan bersama.

Tidak cukup ruang yang mewadahi karya-karya orang Balikpapan, wartawan tadi pun menyiapkan honor bagi penulis yang karyanya dimuat. Tidak perlu memaksakan diri dengan nilai jutaan rupiah, tetapi sekian rupiah yang suatu waktu bisa bertambah seiring dengan kemampuan pengelolaan ekonomi dan sponsorship.

Bagi saya dan kedua wartawan tadi, hal berupa ruang dan imbalan tidaklah hebat alias biasa saja. Akan tetapi, justru hal "biasa saja" itulah yang selalu andil dalam regenerasi penulis di daerah-daerah luar Kaltim.

Buku Kumpulan Karya Pilihan dan Lomba Tulis-Menulis
Buku dan lomba pun merupakan hal yang "biasa saja". Kompas dengan buku kumpulan cerpen atau puisi pilihan sudah sering memberi contohnya. Kegiatan lomba tulis-menulis pun sudah sering tampil, bahkan di media sosial dengan biaya dan seterusnya.

Persoalan yang menahun dan berputar di situ-situ saja adalah sepinya buku kumpulan-kolektif dan lomba tulis-menulis di Balikpapan. Keberadaan Dinas Pendidikan, Dinas Olah Raga Budaya dan Pariwisata, Dewan Kesenian, media massa yang berafiliasi dengan media-media nasional-besar, dan lain-lain tidak pernah benar-benar memberikan solusi dalam sebuah ajang dan wujud fisik, apalagi regenerasi yang berkelanjutan.

Kami sepakat bahwa menunggu atau "mengetuk" kepedulian pihak terkait merupakan kesia-siaan yang akut. Sudahlah. Lebih baik bagaimana rencana ke depan sebagai wujud kepedulian kelompok kecil.

Ya, wartawan asal Medan pun siap untuk mengagendakan kegiatan selanjutnya sebagai suatu solusi paling nyata di depan mata. Saya, sih, sudah siap sejak 2009, tetapi sampai pertengahan 2019 belum ada rekan yang begitu antusias dalam realisasinya.

Oleh karena itu selama dua minggu ini saya benar-benar memanfaatkan kesempatan untuk bisa berdiskusi secara langsung dengan mereka. Selanjutnya, diskusi melalui WA, terlebih 24/10 saya pindah ke luar Kalimantan, meski beberapa bulan akan pulang untuk sekian minggu, dan pergi lagi untuk sekian bulan.

Diskusi memang penting, tetapi eksekusi atau realisasi tidak kalah pentingnya. Peristiwa nasional memang perlu diketahui, tetapi persoalan menahun seputar tulis-menulis di daerah sendiri justru lebih penting untuk diselesaikan. Meski "biasa saja", tetaplah merupakan persoalan dan keprihatinan kronis jika tidak pernah diselesaikan.

Begitu saja dari saya. Terima kasih, Kompasiana!

Di rumah dinasnya Sucipto (Dok. Alfiansyah)
Di rumah dinasnya Sucipto (Dok. Alfiansyah)
*******
Beranda Khayal, Balikpapan, 23 Oktober 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun