Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Cerita di Tahun Lama yang Sampai di Tahun Baru

3 Januari 2016   03:33 Diperbarui: 3 Januari 2016   14:39 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

Memang aku sedang tidak tertarik berkunjung ke rumah Pak Sarwanus dalam rangka suasana Natal dan Tahun Baru. Pasalnya, aku sedang ‘perang dingin’ dengan Oji, anaknya yang sepantaran denganku. Sekitar satu bulan silam aku ribut bahkan nyaris berkelahi dengan Oji gara-gara kaki kiriku dijegalnya ketika main futsal di lapangan belakang rumah mereka.

“Jegal itu biasa dalam sepakbola, Mun,” katanya waktu itu. Sementara aku hanya bisa meringis kesakitan karena dengkulku terluka, selain tulang keringku ngilu karena dijegalnya.

“Ah, cengeng! Kalau tidak mau dijegal, main catur saja!” celetuk kawan lainnya. Akibatnya, aku memutuskan untuk tidak lagi meneruskan permainan, dan segera pulang. Kawan macam apa ini, teganya menjegal kawan sendiri, sungutku.

Sesampai di rumah, Mama sempat menanyakan soal kondisi berdarah dan pincangku. Terpaksa aku harus berbohong dengan mengatakan bahwa aku terjatuh ketika mengejar bola. “Lain kali hati-hati. Kamu kayak nggak pernah main bola saja, Mun,” komentar Mama. “Makanya, perut jangan digendutin!” ejek kakakku, menambah derita raga-rasaku.

Waduh, kenapa aku harus berbohong, ya? Coba tadi aku jujur saja. Tapi, kalau jujur, apa nanti tanggapan Mama dan kakakku, ya? Tapi, gawatnya kalau justru menimbulkan masalah dengan tetangga sebelah rumah.


Sempat kubayangkan kalau Mama malah menyarankan, “Kamu harus mengampuni Oji karena...” Ah, mengampuni tanpa ada pihak yang merasa bersalah, bagaimana bisa? Mama, sih, gampang saja bilang “mengampuni” begitu tanpa merasakan perihnya dengkulku, ngilunya tulang keringku, dan nyerinya perasaanku mendapat ledekan mereka. Coba, pas kejadian tadi Mama melihat langsung, apa jadinya?

***

Ingatan itulah yang membuatku tidak tertarik berkunjung ke rumah Pak Sarwanus alias rumahnya Oji. Padahal setiap ada hari raya, dari Tahun Baru Masehi, Imlek atau Tahun Baru Cina, Idul Fitri, Idul Adha sampai Natal, aku selalu disuruh Mama mengunjungi para tetangga yang merayakannya. Padahal, tanpa disuruh pun, aku pasti berkunjung ke rumah tetangga yang sedang berhari raya.

Di rumah kami, hanya aku yang selalu sibuk menyiapkan pakaian untuk berhari raya ke rumah-rumah tetangga. Dulu, selagi ada Papa, Papa-Mama selalu heran, kenapa aku yang paling ribut soal pakaian setiap hari raya apa saja. Kalau berangkat pagi, aku akan pulang sore, mandi, dan keluar rumah lagi hingga larut malam. Papa-Mama tidak bisa marah karena hari raya dan berkunjung ke tetangga sudah menjadi kebiasaanku. Hanya heran. Tidak lebih.

Nah, kalau suruhan Mama barusan aku jawab “tidak mau, Ma”, bagaimana, ya? Aku menatap wajahku di cermin dekat pintu kamar mandi. Apakah tidak malah menimbulkan sebuah pertanyaan yang lebih menjurus lagi sampai benar-benar terungkap kenyataan dan kesakitan raga-rasaku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun