kita mau membayangkan apa; soto ayam, salome, atau gado-gado di pojok taman suram. Denting gelas kosong juga omong kosong begitu mahal dengan harga yang mencekik ujung rindu. Dan kau, sayangku, berpura-pura amnesia menyaksikan juru parkir sedang pipis  sambil lirik kiri lirik kanan.Â
Begitulah, ia hanya bisa peduli pada batang pepohonan yang mengering. Dengan tergesa, ia membalikan keseimbangan tanpa harus ragu-ragu dan lebih tahu fungsi jalan setapak yang berpengaruh pada gaya hidup orang kota.Â
Jalan setapak bagai halte menyimpan segudang cerita percintaan kontemporer para janda dengan jejaka, para duda dengan gadis, atau para bujangan yang datang dari dusun yang jauh lalu pulang dengan kantong kosong.Â
"Apa boleh, semuanya menuju hidup yang baru," katamu.
"Semuanya hanya menjadi korban," balasku.
Di depan keheningan kita sama-sama mengadu mencium ujung malam dengan mata setengah terpejam sebelum salah satu di antara kita hanyut dalam tragedi semangkuk mie rebus. Tak ada kuliner yang lebih baik dari kenangan. Dan ini kenangan kita, sayang.Â
Juru parkir itu mendekat. "Kemarin banyak kenangan yang tercecer di sini dan kehilangan tuan. Hanya bayangnya mengekal dan tak terbaca. Â Atau seperti wasiat yang lain," ungkapnya. Melihat kau begitu gelisah, aku menghidangkan cabai, kangkung, bawang, kenangan, yang belum diiris. "Ini pekerjaan rumah untuk kita."
Lewaji, 18 September 2021