"Karena aku tahu," jawabnya, "tidak semua kaki bisa berjalan lurus sejak awal. Tapi mereka yang kembali, merekalah yang benar-benar paham jalan."
Luma menggigit bibir, menahan isak. Ia tahu, malam ini bukan hanya malam panjang. Ini adalah malam pengampunan. Malam ketika kesalahan tidak dihakimi, tapi dirangkul dan diberi tempat untuk memperbaiki.
Dan ketika embun terakhir jatuh dari ujung daun, ketika langit mulai berubah dari hitam menjadi abu-abu, dan ketika angin membawa wangi basah tanah yang baru diolah---mereka tahu: rumah itu telah kembali berdiri.
Belum selesai sepenuhnya, belum megah seperti dulu. Tapi sudah cukup kokoh untuk menyimpan harapan. Sudah cukup hangat untuk menjadi pelukan bagi yang sempat hilang arah. Sudah cukup tinggi untuk mengatakan kepada dunia:
"Tubuh kami kecil. Tapi kami tidak pernah sendiri. Karena kami bekerja dalam cinta."
Malam itu memang panjang. Tapi ia juga menjadi malam yang tak akan dilupakan, malam ketika gotong royong bukan hanya konsep, tapi napas. Malam ketika rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi simbol jiwa yang tak tergantikan.
Matahari Menyentuh Puncak Rumah
Fajar tak datang tergesa. Ia menjalar pelan, menyusuri sela-sela dedaunan dan menyentuh permukaan sarang yang masih hangat oleh kerja keras semalam. Udara masih lembap. Daun-daun masih menggenggam embun seperti kenangan yang belum sempat dilepaskan. Di kejauhan, rawa menguapkan kabut putih yang menari pelan, seperti roh-roh leluhur yang sedang menyampaikan pujiannya.
Lalu matahari naik sedikit lebih tinggi.
Dan pada detik yang nyaris tanpa suara, ia menyentuh pucuk rumah itu, rumah semut yang menjulang dari bumi, dibangun oleh tangan-tangan kecil, dengan cinta yang lebih besar dari tubuh mereka sendiri.
Semuanya membisu.