Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 87-88

15 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 14 Oktober 2025   18:22 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Karena aku tahu," jawabnya, "tidak semua kaki bisa berjalan lurus sejak awal. Tapi mereka yang kembali, merekalah yang benar-benar paham jalan."

Luma menggigit bibir, menahan isak. Ia tahu, malam ini bukan hanya malam panjang. Ini adalah malam pengampunan. Malam ketika kesalahan tidak dihakimi, tapi dirangkul dan diberi tempat untuk memperbaiki.

Dan ketika embun terakhir jatuh dari ujung daun, ketika langit mulai berubah dari hitam menjadi abu-abu, dan ketika angin membawa wangi basah tanah yang baru diolah---mereka tahu: rumah itu telah kembali berdiri.

Belum selesai sepenuhnya, belum megah seperti dulu. Tapi sudah cukup kokoh untuk menyimpan harapan. Sudah cukup hangat untuk menjadi pelukan bagi yang sempat hilang arah. Sudah cukup tinggi untuk mengatakan kepada dunia:

"Tubuh kami kecil. Tapi kami tidak pernah sendiri. Karena kami bekerja dalam cinta."

Malam itu memang panjang. Tapi ia juga menjadi malam yang tak akan dilupakan, malam ketika gotong royong bukan hanya konsep, tapi napas. Malam ketika rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi simbol jiwa yang tak tergantikan.

Matahari Menyentuh Puncak Rumah

Fajar tak datang tergesa. Ia menjalar pelan, menyusuri sela-sela dedaunan dan menyentuh permukaan sarang yang masih hangat oleh kerja keras semalam. Udara masih lembap. Daun-daun masih menggenggam embun seperti kenangan yang belum sempat dilepaskan. Di kejauhan, rawa menguapkan kabut putih yang menari pelan, seperti roh-roh leluhur yang sedang menyampaikan pujiannya.

Lalu matahari naik sedikit lebih tinggi.

Dan pada detik yang nyaris tanpa suara, ia menyentuh pucuk rumah itu, rumah semut yang menjulang dari bumi, dibangun oleh tangan-tangan kecil, dengan cinta yang lebih besar dari tubuh mereka sendiri.

Semuanya membisu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun