Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 83-84

10 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 9 Oktober 2025   18:16 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Di Kaki Rawa, Tak Semua Ingin Bertahan 

Rawa kembali tenang. Kabut menggantung seperti selendang tua yang menutupi luka di tanah. Bekas runtuhan tiang utama masih terlihat seperti bekas luka bakar di permukaan bumi, tak berdarah, tapi perihnya menjalar ke dalam hati. Dari kejauhan, rumah yang tengah dibangun itu tampak seperti mimpi yang tertunda: tinggi, megah, tapi separuhnya tergantung di udara yang gamang.

Musamus berdiri di batas koloni. Antenanya menangkap gelisah yang menyebar, lebih sunyi dari badai, tapi lebih meresahkan dari gemuruh langit. Ia tahu, tak semua bisa terus berdiri dalam ketidakpastian.

"Musamus," suara tua Witu, semut pekerja dari generasi sebelum Musamus, terdengar parau. Ia berjalan pelan dari bawah akar ketapang besar, ditemani lima semut lain yang membawa kantung-kantung kecil berisi bekal.

Musamus menoleh perlahan. Ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan dalam sorot mata tua itu.

"Kami... memutuskan untuk kembali ke akar lama," ucap Witu lirih. "Kami lelah. Rawa ini tak lagi seperti dulu. Tanahnya goyah, anginnya berubah arah, dan tiang-tiang mulai roboh."

"Tapi rumah ini belum selesai, Witu," sahut Musamus. "Kita sudah sejauh ini. Tak adakah keyakinan bahwa kita bisa menyelesaikannya bersama?"

Witu menunduk, lalu menjawab dengan getir, "Keyakinan butuh tenaga, Musamus. Dan kami tak muda lagi. Tenaga kami telah habis oleh badai pertama. Apa salah jika kami memilih berteduh saja... di tempat yang sudah pasti?"

Musamus terdiam. Ia menatap mereka satu per satu, semut yang dulunya membangun fondasi pertama, semut yang menjerang lumpur pertama, semut yang berjaga malam ketika ular rawa datang diam-diam. Sekarang mereka pergi, membawa kenangan di punggung dan kekhawatiran di hati.

Di kejauhan, Lere yang masih muda berdiri mematung, memandang para sesepuh itu berjalan menjauh.

"Mereka menyerah?" tanyanya lirih kepada Luma.

Luma mengangguk pelan. "Mungkin... mereka hanya ingin merasa aman."

"Tapi... rumah ini untuk semua. Bukankah mereka bagian dari kita?"

"Ya. Tapi tidak semua hati bisa terus percaya, Lere. Beberapa lebih memilih kenangan yang nyaman daripada harapan yang belum pasti."

Musamus menghela napas. Ia tahu benar bahwa memimpin bukan berarti memaksa. Ia tak bisa menahan mereka yang ingin pergi. Bahkan tanah rawa pun tak pernah memaksa air untuk tinggal. Ia hanya mengalirkan, membiarkan, dan menunggu siapa yang akan kembali dengan sungguh.

Langkah kaki mereka menjauh, pelan, menyisakan jejak kecil di lumpur yang akan hilang saat malam datang.

Dari sisi lain koloni, Rangga menghampiri Musamus. "Apa kau ingin aku memanggil mereka kembali?"

Musamus menggeleng.

"Tidak. Biarkan. Mereka bukan pengkhianat. Mereka hanya... lelah."

Rangga menatapnya dalam. "Tapi semangat para semut muda mulai goyah, Musamus. Kepergian itu... menyebarkan keraguan. Mereka bertanya, apakah rumah ini benar-benar akan selesai?"

Musamus menatap rawa yang diam. Ia tahu, rumah ini bukan sekadar bangunan lumpur. Ini lambang dari keyakinan bahwa yang kecil pun bisa bermakna besar. Tapi keyakinan, sebagaimana lumpur, kadang perlu diremas kembali agar mengeras dalam bentuk yang benar.

Malam itu, di bawah cahaya bintang yang redup, Musamus berdiri di tengah tanah pembangunan. Ia memanggil semua yang tersisa.

"Kawan-kawan," ucapnya lantang, "kita tidak bisa memaksa semua hati untuk tinggal. Tapi kita yang bertahan, mari bertanya pada diri sendiri: untuk apa kita tetap di sini?"

Lere mengangkat tangan kecilnya. "Karena kita percaya rumah ini bisa berdiri, bahkan jika butuh waktu lama."

"Karena kita tak mau hidup di bawah akar lama, tapi ingin tumbuh ke atas," kata Luma.

"Karena rumah ini bukan sekadar tempat tinggal," sahut seekor semut penjaga, "tapi lambang bahwa kita pernah bekerja sama, pernah saling percaya."

Musamus tersenyum. "Itulah. Rumah ini akan menjadi tanda bagi mereka yang datang kemudian, bahwa di rawa ini, semut-semut kecil pernah bermimpi besar. Mungkin tak semua ingin bertahan, tapi selama masih ada satu yang percaya, rumah ini akan terus tumbuh."

Mereka pun mulai bekerja lagi. Malam menyapa dengan kelembutannya, membasuh hati yang sempat gamang. Tiang baru disusun. Lumpur diaduk. Rumput dikeringkan di atas bebatuan yang hangat oleh sisa siang.

Dari balik akar tua, Witu menoleh sekali lagi. Ia melihat cahaya kecil dari obor jamur menyala di tengah kerja itu. Sebuah nyala yang tak bisa dibeli oleh rasa aman semu. Ada air bening menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk, lalu melanjutkan langkah ke sarang lama yang kini terasa lebih jauh dari yang ia duga.

Di kaki rawa, tak semua ingin bertahan. Tapi mereka yang memilih tinggal, justru sedang menanamkan akar harapan paling dalam, bukan pada tanah, tapi pada semangat yang tak bisa diukur oleh tubuh kecil atau jumlah tiang yang runtuh.

Karena pada akhirnya, rumah yang sejati adalah tempat di mana keyakinan tetap hidup, bahkan setelah banyak yang pergi.

Musamus Memilih Diam

Langit sore menggantung tanpa warna. Kabut tipis menjalar pelan dari arah timur, mengusap pucuk-pucuk rumput rawa yang lembab, seperti tangan seorang ibu yang mencoba menenangkan anaknya yang demam. Di tengah bentangan lumpur yang mulai mengering, berdirilah kerangka sarang yang belum selesai. Tingginya menjulang, tapi tak ada sorak. Keheningan merambat seperti nyanyian luka yang tak selesai dinyanyikan.

Musamus duduk sendiri di bawah akar besar pohon sagu tua, tempat ia biasa memberi arahan. Tapi hari itu, lidahnya tak bergerak. Antenanya tak menari. Ia hanya menatap tanah. Diam. Seolah sedang menunggu suara dari dalam lumpur atau jawaban dari sisa embun yang menempel di ujung rumput.

Beberapa semut muda berjalan pelan mendekat. Di antara mereka ada Lere, Luma, dan Rangga. Mereka saling bertukar pandang, heran melihat pemimpin mereka tenggelam dalam sunyi.

"Dia belum berkata apa pun sejak tadi pagi," bisik Lere dengan ragu. "Padahal tiang ketiga sudah retak, dan tim pengangkut lumpur kehilangan arah."

Luma mengangguk, wajahnya murung. "Aku sudah membawa laporan. Tapi... ia bahkan tak mengangguk."

Rangga, yang biasanya keras kepala, hari itu pun menjadi lembut. "Mungkin... ini luka yang tak bisa dibicarakan."

Akhirnya, mereka bertiga duduk tak jauh dari Musamus. Mereka tak ingin memaksa. Mereka tahu, diam bisa lebih dalam dari sekadar kehilangan kata. Diam bisa menjadi tempat berpulang bagi pemimpin yang letih bukan oleh beban di punggung, melainkan oleh beban di dada.

Beberapa jam berlalu. Matahari merangkak turun dan langit mulai berwarna tembaga. Seekor semut pengintai dari barat tiba, tergesa, membawa kabar.

"Musamus... maafkan aku. Aku tahu kau sedang tidak ingin bicara, tapi aku harus melapor," katanya terbata.

Musamus tetap diam. Tapi ia mengangkat satu antena, perlahan. Tanda bahwa ia mendengar.

"Kelompok yang membawa rumput dari tepi danau diserang burung raja-udang. Dua semut hilang. Satu terluka. Kami... kehilangan sebagian bahan bangunan."

Tak ada reaksi. Tak ada kemarahan. Tak ada instruksi. Hanya pandangan ke tanah yang terus menelisik dalam.

Lere memberanikan diri mendekat. "Musamus... apakah kau masih percaya kita bisa menyelesaikan ini?"

Masih tak ada jawaban. Tapi sebuah hembusan angin menerpa daun-daun di atas kepala mereka, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lebih tua dari waktu: kesabaran.

Luma memejamkan mata. "Mungkin kita terlalu keras bekerja... mungkin kita lupa bahwa rumah bukan cuma soal tinggi, tapi juga soal hati."

Rangga menoleh ke arah Musamus. "Apa... kau merasa gagal?" Suaranya patah. "Apa semua ini sia-sia?"

Musamus akhirnya bergerak. Ia berdiri pelan, lalu melangkah ke arah tanah gersang di depan pondasi sarang. Ia menunduk, menyentuh lumpur yang retak. Mengusapnya perlahan dengan ujung kaki kecilnya, seolah sedang mencari denyut kehidupan di sana.

Kemudian ia menoleh. Tatapan matanya tak biasa. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi kosong, seperti langit yang baru saja kehilangan bulan.

Ia membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Hanya napas panjang dan dalam yang menyatu dengan napas rawa itu sendiri. Lalu, perlahan, ia menutup mulutnya kembali. Diam, tapi penuh.

Lere menangis dalam diam. Luma menggenggam tanah. Rangga menunduk.

Karena mereka tahu, hari itu, Musamus tak ingin bicara bukan karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena ia sedang mendengarkan suara-suara yang hanya bisa terdengar oleh mereka yang telah memberikan seluruh jiwanya untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Di tempat yang tak semua semut bisa capai, di ruang hening antara harapan dan kenyataan, Musamus sedang berbicara dengan luka. Dengan langit. Dengan roh-roh lumpur yang tahu betapa sulitnya menjadi pemimpin ketika tak semua ingin dipimpin, dan tak semua percaya akan akhir dari usaha bersama.

Beberapa semut lainnya berkumpul. Mereka berdiri mematung melihat pemimpin mereka tak berkata-kata. Tapi anehnya, dari diam itu lahirlah keteguhan baru. Tak ada perintah, tapi semua tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada pidato, tapi semangat menyala lagi seperti api kecil yang menyentuh ilalang kering.

Esok pagi, tiang ketiga diperbaiki. Kelompok pengangkut lumpur kembali ke jalur. Rumput dikeringkan lebih hati-hati. Tak ada yang tahu siapa yang memulai gerakan itu. Tapi semua merasa: Musamus yang diam telah berbicara jauh lebih dalam daripada yang pernah ia ucapkan.

Kadang, diam bukan tanda menyerah. Diam adalah cara alam berbicara lewat dada-dada yang tak lagi butuh suara. Dan di bawah langit Rawa Biru yang kembali biru, rumah itu mulai menjulang lagi, pelan, tapi pasti.

Musamus berdiri di bawah fondasi, memejamkan mata. Ia tahu, tubuhnya kecil. Tapi dalam diamnya hari itu, jiwanya menjelma sebesar rawa itu sendiri.

Bersambung

Merauke, 10 Oktober 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun