Beberapa semut lainnya berkumpul. Mereka berdiri mematung melihat pemimpin mereka tak berkata-kata. Tapi anehnya, dari diam itu lahirlah keteguhan baru. Tak ada perintah, tapi semua tahu apa yang harus dilakukan. Tak ada pidato, tapi semangat menyala lagi seperti api kecil yang menyentuh ilalang kering.
Esok pagi, tiang ketiga diperbaiki. Kelompok pengangkut lumpur kembali ke jalur. Rumput dikeringkan lebih hati-hati. Tak ada yang tahu siapa yang memulai gerakan itu. Tapi semua merasa: Musamus yang diam telah berbicara jauh lebih dalam daripada yang pernah ia ucapkan.
Kadang, diam bukan tanda menyerah. Diam adalah cara alam berbicara lewat dada-dada yang tak lagi butuh suara. Dan di bawah langit Rawa Biru yang kembali biru, rumah itu mulai menjulang lagi, pelan, tapi pasti.
Musamus berdiri di bawah fondasi, memejamkan mata. Ia tahu, tubuhnya kecil. Tapi dalam diamnya hari itu, jiwanya menjelma sebesar rawa itu sendiri.
Bersambung
Merauke, 10 Oktober 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI