"Mereka menyerah?" tanyanya lirih kepada Luma.
Luma mengangguk pelan. "Mungkin... mereka hanya ingin merasa aman."
"Tapi... rumah ini untuk semua. Bukankah mereka bagian dari kita?"
"Ya. Tapi tidak semua hati bisa terus percaya, Lere. Beberapa lebih memilih kenangan yang nyaman daripada harapan yang belum pasti."
Musamus menghela napas. Ia tahu benar bahwa memimpin bukan berarti memaksa. Ia tak bisa menahan mereka yang ingin pergi. Bahkan tanah rawa pun tak pernah memaksa air untuk tinggal. Ia hanya mengalirkan, membiarkan, dan menunggu siapa yang akan kembali dengan sungguh.
Langkah kaki mereka menjauh, pelan, menyisakan jejak kecil di lumpur yang akan hilang saat malam datang.
Dari sisi lain koloni, Rangga menghampiri Musamus. "Apa kau ingin aku memanggil mereka kembali?"
Musamus menggeleng.
"Tidak. Biarkan. Mereka bukan pengkhianat. Mereka hanya... lelah."
Rangga menatapnya dalam. "Tapi semangat para semut muda mulai goyah, Musamus. Kepergian itu... menyebarkan keraguan. Mereka bertanya, apakah rumah ini benar-benar akan selesai?"
Musamus menatap rawa yang diam. Ia tahu, rumah ini bukan sekadar bangunan lumpur. Ini lambang dari keyakinan bahwa yang kecil pun bisa bermakna besar. Tapi keyakinan, sebagaimana lumpur, kadang perlu diremas kembali agar mengeras dalam bentuk yang benar.