Musamus menatap mereka satu per satu. Di matanya, tampak air bening yang tidak jatuh, tapi terasa sampai dada. "Tembok yang paling kuat," katanya pelan, "bukan yang tak bisa ditembus, tapi yang dibangun oleh tangan yang percaya. Yang dipahat oleh cinta."
Dan malam pun turun perlahan, membawa cahaya bulan yang tumpah lembut ke dinding-dinding rumah semut. Di atas atap, seekor capung hinggap, tak lama, tapi cukup untuk berkata: aku melihat kalian.
Di rawa, suara belut dan kepiting kembali terdengar, menyatu dalam orkestra malam. Di ujung pohon bambu yang melengkung, sepasang kakatua bertengger, mendengarkan nyanyian semut-semut yang tak pernah ditulis, tapi diwariskan dari hati ke hati.
Kampung itu kini tidak hanya berdiri. Ia hidup. Karena ia dibangun bukan dari kayu keras atau paku, tapi dari kepercayaan yang mengalir pelan, dari tetes air liur yang tak pernah menuntut, dan dari tanah yang diletakkan di tempatnya oleh tangan-tangan kecil yang mengerti: bahwa cinta, meski sunyi, mampu mengangkat dunia.
Bersambung
Merauke, 01 Oktober 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI