Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 75-76

1 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 30 September 2025   20:28 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

"Apakah kita terlalu memikirkan pertahanan hingga melupakan keindahan?" tanya Luma. "Apakah dalam mengejar keselamatan, kita menutup pintu bagi sahabat lama?"

Musamus menunduk. Dari jauh, deretan rumah tinggi menjulang bagai mimpi yang berhasil diwujudkan. Tapi angin yang dulu membawa serta tawa capung, kini hanya membawa kesunyian yang bergema di sela-sela rumput kering.

Rangga, semut muda yang tengah memeriksa jalur air di bawah rumah, tiba-tiba naik dan menghampiri mereka. "Kalian juga merasakannya, ya?" tanyanya. "Aku baru saja membuat sarang baru, tapi tak satu pun capung mendekat. Dulu, hanya dengan mengangkat kaki dan melambai, mereka datang."

"Mungkin," ujar Musamus, "kita harus kembali mendengar. Mendengar suara yang tak lagi terdengar. Kita terlalu banyak bicara pada tanah, lupa menengadah pada langit."

Rangga berpikir sejenak. "Bagaimana jika kita buat ruang terbuka di tengah menara? Seperti taman kecil. Kita tanami bunga rawa yang dulu mereka sukai. Bunga kasuari, rumput merah, dan daun palem muda."

Luma tersenyum. "Dan mungkin, alih-alih membuat dinding terlalu rapat, kita beri celah. Celah untuk udara dan cahaya. Celah bagi teman yang ingin singgah."

Musamus mengangguk pelan. "Rencana yang baik tak hanya menjaga tubuh, tapi juga memelihara persahabatan."

Sore itu, Musamus memanggil seluruh warga. Di tengah lapangan lumpur yang mulai mengering, mereka berkumpul, duduk membentuk lingkaran, seperti yang biasa mereka lakukan sebelum menara dibangun. Burung-burung cendrawasih melintas di atas, bulunya membiaskan cahaya jingga mentari. Suara alap-alap terdengar nyaring, menandai langit sebagai panggung abadi makhluk bersayap.

"Kita telah membangun menara harapan," ujar Musamus lantang, "tapi jangan sampai harapan itu berdiri sendirian. Kita butuh sahabat, mereka yang terbang, yang mengawasi dari langit, dan yang menari di atas rawa. Capung adalah bagian dari hidup kita. Mereka bukan hanya indah, mereka adalah penjaga---penanda bahwa rawa masih sehat, air masih bersih, dan kita tak sendirian."

Sorak kecil terdengar. Seorang semut tua berujar, "Aku ingat saat capung menolong anakku dari serangan laba-laba air. Mereka datang seperti panah cahaya, menyelamatkan lalu menghilang seperti angin."

"Kalau begitu," kata Rangga, "biarlah kita bangun ruang untuk mereka. Taman di atas atap. Kolam kecil dari air hujan. Dan bunga dari tepi rawa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun