Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 75-76

1 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 30 September 2025   20:28 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Novel Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar (Dokumentasi Pribadi)

Hari-hari berikutnya, Kampung Musamus kembali ramai, bukan oleh pembangunan pertahanan, melainkan pemulihan hubungan. Di pucuk rumah, semut-semut membuat tempat hinggap dari potongan ranting dan daun palem muda. Mereka menanam bunga liar yang tumbuh di tepi rawa. Mereka meneteskan madu, bukan sebagai perekat kali ini, tetapi sebagai suguhan.

Dan pada pagi keempat, saat kabut masih menyelimuti, sayap-sayap bening itu datang kembali. Seekor capung biru berputar satu kali, dua kali, lalu hinggap di ujung ranting kering. Ia diam sebentar, sebelum melompat ringan ke arah bunga kasuari yang baru mekar. Disusul capung merah, lalu capung hijau zamrud.

Luma menatap mereka dengan mata berkaca. "Mereka pulang," bisiknya.

Musamus mengangguk. "Karena kita membuka jalan."

Dan langit pun berseru riang, saat capung dan semut kembali duduk berdampingan. Menara boleh tinggi, tapi persahabatan---ia butuh ruang untuk hinggap, dan hati yang terbuka untuk menerima.

Tembok-tembok dari Tanah Cinta

Sinar mentari menggeliat pelan di sela pelepah palem dan dedaunan ketapang yang bergerak tertiup angin pagi. Udara masih mengandung wangi lumpur basah, bekas hujan semalam yang menyuburkan lantai rawa dan membangunkan nyanyian pagi dari belibis dan undan kacamata. Dari arah hutan, suara burung mambruk menggema pelan, seakan memberi aba-aba bahwa hari itu adalah hari untuk mengingat cinta yang dibangun dengan kerja yang tak pernah meminta balasan.

Di Kampung Musamus, tak ada suara palu atau mesin. Tapi tangan-tangan kecil yang tak terlihat, kaki-kaki mungil yang tak pernah lelah, bekerja dalam kesunyian yang penuh makna. Setiap semut membawa sedikit tanah liat, secuil serpihan kayu mati, sehelai rumput rawa, atau tetes embun yang dikumpulkan dari pucuk pandan. Mereka tidak pernah menyebutnya 'membangun'. Mereka menyebutnya: 'memberi.'

"Musamus," panggil Luma, yang baru saja kembali dari tepi rawa membawa sejumput lumpur hitam yang kental, "ini dari bawah akar bakau. Masih segar. Akan kuat jika dikeringkan matahari."

Musamus menoleh, menerima lumpur itu dengan senyum hangat. "Lumpur dari akar bakau adalah lumpur penuh doa," ucapnya, "karena di sanalah kehidupan pertama kali tumbuh dan belajar berdiri."

Ia menambahkan lumpur itu ke dinding rumah yang sedang dibentuk---dinding yang tidak dibangun dalam sehari, tetapi ditenun perlahan oleh semut-semut dari segala penjuru kampung. Tidak ada yang memerintah. Tidak ada upah. Tapi setiap malam, tembok-tembok itu bertambah tinggi, karena tangan yang mengangkatnya digerakkan oleh cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun