Praktik "katrol nilai" bukanlah hal asing di sekolah maupun kampus. Dalam banyak kasus, nilai siswa atau mahasiswa yang seharusnya rendah justru dinaikkan agar tampak memenuhi standar kelulusan. Fenomena ini sering dipandang sebagai kelemahan guru maupun dosen, padahal sesungguhnya mereka berada dalam posisi sulit: antara menjaga integritas profesional atau tunduk pada tekanan sistem yang menuntut angka tinggi demi kelulusan, akreditasi, maupun reputasi lembaga. Tulisan ini hadir untuk mengajak kita melihat persoalan ini dengan jernih, bukan sekadar menyalahkan individu, melainkan merefleksikan akar masalah dalam sistem penilaian kita dan mendesak perlunya reformasi agar pendidikan benar-benar menumbuhkan kualitas, bukan hanya mempercantik angka.
Dilema Guru dan Dosen dalam Sistem
Guru dan dosen kerap berada dalam pusaran dilema. Di satu sisi, mereka dituntut menjaga integritas akademik; di sisi lain, ada tekanan sistemik yang sulit dihindari. Tekanan itu datang dari target kelulusan yang tinggi, akreditasi institusi yang bergantung pada rerata nilai, serta reputasi lembaga yang harus selalu tampak baik di mata publik. Tidak mengherankan jika praktik "katrol nilai" muncul sebagai jalan kompromi yang pahit, meski bertentangan dengan nurani pendidik.
Lebih jauh, orientasi pendidikan kita masih terjebak pada angka: rapor, indeks prestasi kumulatif (IPK), dan peringkat, seakan itulah satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Padahal seperti yang ditegaskan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan seharusnya membebaskan, bukan mengekang manusia dalam kerangkeng angka. Angka yang dipuja tanpa konteks justru menyingkirkan esensi pembelajaran sejati: menumbuhkan daya kritis, kemandirian, dan karakter.
Tak kalah penting, faktor kemanusiaan sering luput dari perhatian sistem. Banyak siswa dan mahasiswa yang bergulat dengan kesulitan ekonomi, tekanan keluarga, hingga persoalan psikologis yang memengaruhi capaian akademik mereka. Guru dan dosen menyaksikan langsung pergulatan ini; hati kecil mereka kerap tak tega membiarkan anak didik jatuh hanya karena standar angka yang kaku. Maka, nilai pun dikatrol bukan sekadar untuk menjaga statistik, melainkan juga sebagai bentuk empati, meski pilihan ini sering menyisakan beban moral.
Katrol Nilai sebagai Gejala Sistemik
Fenomena "katrol nilai" tidak sepatutnya dipahami sebagai kelemahan pribadi guru atau dosen semata. Lebih tepat bila ia dibaca sebagai gejala sistemik, hasil dari struktur pendidikan yang menekan pendidik untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kelulusan, akreditasi, dan kepuasan publik. Guru hanyalah aktor di garis depan; keputusan menaikkan nilai kerap dilakukan bukan karena ketidakjujuran pribadi, melainkan karena sistem yang tidak memberi ruang bagi kegagalan.
Budaya pendidikan kita sering memandang kegagalan sebagai aib yang harus dihindari. Padahal, seperti ditulis Carol S. Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success (2006), kegagalan adalah bagian esensial dari proses belajar dan bisa menjadi pijakan menuju pertumbuhan. Ketika sistem menolak kegagalan, ia justru menumbuhkan praktik manipulatif: nilai dinaikkan agar tampak ideal, meski sesungguhnya kualitas belajar tidak bergerak.
Dampaknya terasa serius dalam jangka panjang. Kualitas lulusan menurun karena angka tidak lagi mencerminkan kompetensi nyata. Lebih dari itu, integritas akademik menjadi rapuh: nilai kehilangan makna, guru atau dosen kehilangan otoritas moral, dan siswa atau mahasiswa terbiasa dengan ilusi pencapaian. Jika gejala ini dibiarkan, pendidikan kita berisiko kehilangan rohnya, bukan lagi proses pembentukan manusia utuh, melainkan sekadar pabrik angka yang indah di atas kertas namun rapuh di dunia nyata.
Arah Reformasi Penilaian