Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Katrol Nilai, Integritas Guru atau Dosen, dan Reformasi Penilaian

18 September 2025   04:25 Diperbarui: 18 September 2025   02:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutsrasi Katrol Nilai (Dokumentasi Pribadi)

Praktik "katrol nilai" bukanlah hal asing di sekolah maupun kampus. Dalam banyak kasus, nilai siswa atau mahasiswa yang seharusnya rendah justru dinaikkan agar tampak memenuhi standar kelulusan. Fenomena ini sering dipandang sebagai kelemahan guru maupun dosen, padahal sesungguhnya mereka berada dalam posisi sulit: antara menjaga integritas profesional atau tunduk pada tekanan sistem yang menuntut angka tinggi demi kelulusan, akreditasi, maupun reputasi lembaga. Tulisan ini hadir untuk mengajak kita melihat persoalan ini dengan jernih, bukan sekadar menyalahkan individu, melainkan merefleksikan akar masalah dalam sistem penilaian kita dan mendesak perlunya reformasi agar pendidikan benar-benar menumbuhkan kualitas, bukan hanya mempercantik angka.

Dilema Guru dan Dosen dalam Sistem

Guru dan dosen kerap berada dalam pusaran dilema. Di satu sisi, mereka dituntut menjaga integritas akademik; di sisi lain, ada tekanan sistemik yang sulit dihindari. Tekanan itu datang dari target kelulusan yang tinggi, akreditasi institusi yang bergantung pada rerata nilai, serta reputasi lembaga yang harus selalu tampak baik di mata publik. Tidak mengherankan jika praktik "katrol nilai" muncul sebagai jalan kompromi yang pahit, meski bertentangan dengan nurani pendidik.

Lebih jauh, orientasi pendidikan kita masih terjebak pada angka: rapor, indeks prestasi kumulatif (IPK), dan peringkat, seakan itulah satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Padahal seperti yang ditegaskan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan seharusnya membebaskan, bukan mengekang manusia dalam kerangkeng angka. Angka yang dipuja tanpa konteks justru menyingkirkan esensi pembelajaran sejati: menumbuhkan daya kritis, kemandirian, dan karakter.

Tak kalah penting, faktor kemanusiaan sering luput dari perhatian sistem. Banyak siswa dan mahasiswa yang bergulat dengan kesulitan ekonomi, tekanan keluarga, hingga persoalan psikologis yang memengaruhi capaian akademik mereka. Guru dan dosen menyaksikan langsung pergulatan ini; hati kecil mereka kerap tak tega membiarkan anak didik jatuh hanya karena standar angka yang kaku. Maka, nilai pun dikatrol bukan sekadar untuk menjaga statistik, melainkan juga sebagai bentuk empati, meski pilihan ini sering menyisakan beban moral.

Katrol Nilai sebagai Gejala Sistemik

Fenomena "katrol nilai" tidak sepatutnya dipahami sebagai kelemahan pribadi guru atau dosen semata. Lebih tepat bila ia dibaca sebagai gejala sistemik, hasil dari struktur pendidikan yang menekan pendidik untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kelulusan, akreditasi, dan kepuasan publik. Guru hanyalah aktor di garis depan; keputusan menaikkan nilai kerap dilakukan bukan karena ketidakjujuran pribadi, melainkan karena sistem yang tidak memberi ruang bagi kegagalan.

Budaya pendidikan kita sering memandang kegagalan sebagai aib yang harus dihindari. Padahal, seperti ditulis Carol S. Dweck dalam Mindset: The New Psychology of Success (2006), kegagalan adalah bagian esensial dari proses belajar dan bisa menjadi pijakan menuju pertumbuhan. Ketika sistem menolak kegagalan, ia justru menumbuhkan praktik manipulatif: nilai dinaikkan agar tampak ideal, meski sesungguhnya kualitas belajar tidak bergerak.

Dampaknya terasa serius dalam jangka panjang. Kualitas lulusan menurun karena angka tidak lagi mencerminkan kompetensi nyata. Lebih dari itu, integritas akademik menjadi rapuh: nilai kehilangan makna, guru atau dosen kehilangan otoritas moral, dan siswa atau mahasiswa terbiasa dengan ilusi pencapaian. Jika gejala ini dibiarkan, pendidikan kita berisiko kehilangan rohnya, bukan lagi proses pembentukan manusia utuh, melainkan sekadar pabrik angka yang indah di atas kertas namun rapuh di dunia nyata.

Arah Reformasi Penilaian

Jika "katrol nilai" lahir dari sistem yang kaku, maka jalan keluarnya adalah menata ulang cara kita menilai. Reformasi penilaian harus dimulai dari pergeseran paradigma: dari sekadar angka menuju kompetensi nyata. Nilai seharusnya mencerminkan keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah, kreativitas, dan integritas, bukan sekadar hasil ujian tertulis. Seperti ditegaskan Grant Wiggins dalam Educative Assessment (1998), penilaian sejati harus memandu siswa menjadi lebih baik, bukan hanya mengukur apa yang sudah lewat.

Dalam kerangka ini, penilaian formatif, deskriptif, dan holistik menjadi penting. Penilaian formatif memberi ruang perbaikan sepanjang proses belajar, penilaian deskriptif membantu siswa memahami kelebihan dan kelemahan mereka, sementara penilaian holistik melihat aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara seimbang. Dengan demikian, pendidikan kembali pada fitrahnya: menumbuhkan manusia seutuhnya.

Selain itu, guru dan dosen perlu diberi ruang untuk memberikan umpan balik kualitatif, bukan sekadar angka. Kalimat reflektif atau catatan singkat dari pendidik sering lebih bermakna daripada skor numerik, karena menyentuh sisi pribadi dan memotivasi siswa untuk berkembang. Prinsip ini sejalan dengan gagasan Dylan Wiliam dalam Embedded Formative Assessment (2011), bahwa umpan balik yang baik adalah yang mendorong perbaikan, bukan sekadar memberi label.

Akhirnya, reformasi penilaian menuntut perubahan budaya yang lebih mendasar: dari budaya ranking menjadi budaya pembelajaran. Ranking hanya melahirkan kompetisi semu, sementara pembelajaran sejati menghidupkan kerja sama, empati, dan semangat tumbuh bersama. Dengan demikian, pendidikan tidak lagi sibuk mempercantik angka, tetapi sungguh menjadi perjalanan memanusiakan manusia.

Uraian di atas menunjukkan, praktik "katrol nilai" sejatinya adalah panggilan darurat bahwa sistem penilaian kita perlu dibenahi secara serius. Ia bukan sekadar persoalan angka, tetapi tanda adanya kegagalan struktural yang menjerat guru dan dosen dalam dilema antara menjaga integritas atau tunduk pada tekanan sistem. Di titik ini, penting ditegaskan: guru dan dosen tidak boleh terus-menerus menjadi korban, karena tugas mereka bukan sekadar memenuhi target, melainkan membimbing manusia muda menuju kedewasaan. Maka, reformasi penilaian harus diarahkan pada model yang lebih adil, manusiawi, dan berorientasi pada perkembangan nyata siswa maupun mahasiswa. Hanya dengan begitu pendidikan dapat kembali pada misinya yang hakiki: memerdekakan dan memanusiakan. (*)

Merauke, 18 September 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun