Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar IPA, Mengenal Sang Pencipta: Pendidikan Karakter Berbasis Iman

26 Juli 2025   04:25 Diperbarui: 26 Juli 2025   03:32 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Ilustrasi media gambar dalam pembelajaran IPA SD (Borobudur News)

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) bukan sekadar kumpulan rumus dan teori yang membedah realitas fisik, melainkan jendela menuju keajaiban ciptaan, dari keindahan atom hingga galaksi yang menyuarakan kebesaran Sang Pencipta. Bagi guru Katolik, mengajarkan IPA adalah panggilan iman: menuntun murid melihat dunia bukan sekadar sebagai objek eksplorasi, tetapi sebagai anugerah yang suci dan layak dijaga. Seperti yang ditegaskan Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015), bumi adalah rumah bersama yang dipercayakan Allah kepada manusia, bukan ladang eksploitasi tanpa batas. Karena itu, integrasi nilai-nilai Kristiani dalam pembelajaran IPA menjadi mendesak demi membentuk generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijaksana, penuh kasih, dan bertanggung jawab terhadap ciptaan.

Kekaguman Akan Ciptaan Tuhan: Sains sebagai Jalan Menuju Iman

Langit yang bertabur bintang, embun yang menggantung di ujung daun, hingga struktur atom yang tak kasatmata, semuanya bicara dalam bahasa yang sama: keajaiban. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) mengajak murid menjelajah alam semesta, bukan hanya untuk tahu, tetapi untuk takjub. Dari keteraturan orbit planet hingga simetri molekul air, IPA membuka jendela pada sebuah dunia yang tidak hadir secara kebetulan, melainkan ditata oleh tangan yang penuh kebijaksanaan.

Dalam bukunya The Mind of God: The Scientific Basis for a Rational World (1992), fisikawan dan kosmolog Paul Davies menyatakan bahwa alam semesta menunjukkan pola keteraturan yang luar biasa, sehingga banyak ilmuwan merasa seolah-olah sedang mengungkap rancangan rasional yang mendasari realitas.

Keteraturan hukum alam, seperti gravitasi, fotosintesis, atau hukum termodinamika, bukan sekadar konsep akademik, melainkan gema dari keteraturan ilahi. Sebagaimana dikatakan oleh Santo Agustinus, "Keselarasan ciptaan adalah seperti musik yang terdengar oleh jiwa yang bersih" (De Musica, IV). Alam bukan sekadar benda, ia adalah kitab kedua setelah Kitab Suci, sebuah wahyu bisu yang berbicara melalui harmoni dan keindahan.

Maka, mempelajari sains sejatinya adalah bentuk pujian. Ia adalah doa dalam bentuk ketekunan, syukur dalam bentuk rasa ingin tahu. Mazmur 19:2 berkata, "Langit mewartakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memasyurkan karya tangan-Nya." Ketika seorang murid memahami struktur DNA atau menatap nebula melalui teleskop, sesungguhnya ia sedang menyentuh ujung jubah Sang Pencipta.

Di sinilah peran guru Katolik menjadi sangat vital: menyalakan nyala kekaguman, bukan hanya kecerdasan. Melalui pendekatan yang penuh kontemplasi dan kasih akan ciptaan, guru mengajak murid untuk tidak berhenti pada 'bagaimana sesuatu bekerja,' tetapi berani bertanya 'mengapa ini begitu indah dan bermakna'. Sebab iman tidak selalu lahir dari mimbar, kadang, ia tumbuh dari laboratorium dan dari keheningan di tengah pelajaran IPA yang menggetarkan jiwa.

Tanggung Jawab Ekologis: Menjadi Penjaga Bumi

Manusia bukanlah pemilik tunggal bumi, melainkan pengelola yang diberi amanah. Dalam Kejadian 2:15 tertulis, "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu." Amanat ini bukanlah kuasa untuk mengeksploitasi, melainkan panggilan untuk merawat dengan kasih dan tanggung jawab. Gereja menegaskan hal ini melalui Laudato Si' (2015), di mana Paus Fransiskus menyebut bumi sebagai "rumah bersama" yang harus dijaga bersama, bukan dijarah demi keuntungan sesaat.

IPA atau sains memberikan lensa ilmiah untuk melihat luka-luka yang diderita bumi: mencairnya es di kutub, memburuknya kualitas udara, punahnya spesies akibat ulah manusia. Melalui sains, murid dapat memahami bagaimana aktivitas manusia mempercepat perubahan iklim, merusak ekosistem, dan mencemari sumber kehidupan. Pemahaman ini bukan untuk menimbulkan rasa bersalah semata, melainkan untuk menyalakan kesadaran dan empati ekologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun