Dalam bukunya The Arts and the Creation of Mind (2002), Elliot Eisner menulis: "Apa yang tidak kita hargai, tidak kita nilai. Dan apa yang tidak kita nilai, tidak kita ajarkan." Maka tak heran, bila cerita, puisi, dan esai reflektif perlahan menghilang dari kelas. Kita tidak menilai ekspresi, dan akhirnya, kita tidak lagi mengajarkannya.
Anak-anak pun tumbuh menjadi pelajar yang fasih menjawab A, B, C, atau D, tapi gagap saat diminta berkata jujur kepada dunia. Mereka kehilangan bahasa yang menghidupkan.
Kita mencetak murid yang bisa memilih jawaban tepat, tapi tak bisa mengatakan apa yang mereka rasakan. Kita memberi mereka skor, tapi tidak memberi mereka suara.
Membangun Kembali Jiwa dalam Pembelajaran Bahasa
Sudah saatnya kita pulang, meniti kembali jalan menuju esensi bahasa yang sesungguhnya: sebagai rumah bagi jiwa, bukan ruang ujian semata. Pembelajaran bahasa seharusnya menjadi tempat anak-anak menemukan diri mereka, bukan kehilangan suara. Di sanalah mereka belajar untuk menyusun kata dari luka, harapan dari diam, dan mimpi dari sunyi.
Menghidupkan kembali kemanusiaan dalam pelajaran bahasa bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Kita perlu membiarkan murid menulis bukan hanya karena ada tugas, tetapi karena mereka ingin didengar. Kita perlu mengajarkan bahwa puisi bukan soal rima, tapi tentang keberanian mengungkapkan yang tak terucap.
Evaluasi pun harus berubah: dari penghakiman angka menjadi pendampingan makna. Portofolio tulisan pribadi, proyek narasi, drama kelas, podcast harian, hingga catatan reflektif, semuanya adalah cara untuk menilai yang tak hanya mengukur, tetapi juga merawat. Seperti yang diungkapkan Ken Robinson dalam Out of Our Minds: Learning to be Creative (2001): "Penilaian seharusnya tidak hanya tentang apa yang diketahui siswa, tetapi juga bagaimana mereka tumbuh."
Dalam kerangka ini, guru tak lagi hanya menjadi penjaga skor. Ia menjadi penenun jiwa, yang mendengarkan, membesarkan hati, dan membuka ruang agar bahasa berkembang dalam kejujuran dan keberanian. Ia bukan hakim bahasa, tapi penjaga nyala batin.
Karena sejatinya, belajar bahasa adalah belajar menjadi manusia: hanya manusia yang dapat berbahasa. Dan manusia yang utuh tak hanya pandai menjawab soal, tapi juga mampu berkata, merasakan, dan menghubungkan dunia lewat kata-katanya.
Akhirnya, bahasa bukan sekadar alat untuk meraih nilai tinggi dalam selembar kertas ujian. Ia adalah denyut kehidupan, napas jiwa yang menyimpan tangis, tawa, dan kerinduan yang tak tersampaikan. Di dalam bahasa, manusia mengenal dirinya, mengungkapkan hatinya, dan menyentuh hati yang lain. Karena itu, kita tidak boleh membiarkan bahasa direduksi menjadi pilihan ganda tanpa makna atau angka-angka yang bisu, sebab 'bahasa adalah suara manusia yang hidup.' Suara yang kadang rapuh, tapi jujur; yang tak selalu benar menurut aturan, tapi benar menurut hati. Maka, marilah kita memberi ruang bagi siswa untuk lebih dari sekadar lulus: biarkan mereka gagal dalam tata bahasa, tapi berhasil menyentuh rasa; menulis dengan air mata, dengan tawa, dengan suara yang belum sempurna, karena di situlah letak kejujuran mereka sebagai manusia. Sebagaimana ajakan ini: "Biarlah anak-anak kita tak hanya bisa menjawab soal, tapi mampu menulis tentang luka, tentang harapan, tentang cinta yang tak sempat terucap." Itulah pendidikan bahasa yang menyentuh, dan membangkitkan. (*)
Merauke, 16 Juni 2025