Rahman, siswa kelas 9, selalu menjadi kebanggaan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, nilai-nilainya hampir sempurna, lembar jawabnya penuh lingkaran rapi yang memuaskan guru dan sistem. Ia hafal jenis kalimat, paham ejaan, dan tahu seluk-beluk makna konotatif serta denotatif. Namun ketika ibunya terbaring sakit dan berharap sepucuk surat darinya, Rahman bungkam, tangannya gemetar, pikirannya kosong. Ia pun tak sanggup berkata apa-apa saat sahabatnya pindah sekolah, bukan karena tak peduli, melainkan karena tak terbiasa menyuarakan isi hati. Ia belajar bahasa, tapi kehilangan suara. Maka patut kita renungkan: untuk apa belajar bahasa jika pada akhirnya kita tak mampu menyuarakan yang terdalam dalam diri kita? Di banyak ruang kelas, ironi seperti Rahman bukan hal langka, bahasa telah direduksi menjadi pilihan ganda dan skor numerik. Kita sibuk melatih anak memilih jawaban yang benar, tapi lupa mengajar mereka merangkai kalimat yang jujur. Padahal,
bahasa seharusnya menghidupkan manusia, bukan memadamkan ekspresinya demi angka.
KEMBALI KE ARTIKEL