Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Skor Tinggi, Jiwa Sunyi: Ironi Pembelajaran Bahasa di Sekolah

16 Juni 2025   04:25 Diperbarui: 16 Juni 2025   05:14 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Rahman, siswa kelas 9, selalu menjadi kebanggaan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, nilai-nilainya hampir sempurna, lembar jawabnya penuh lingkaran rapi yang memuaskan guru dan sistem. Ia hafal jenis kalimat, paham ejaan, dan tahu seluk-beluk makna konotatif serta denotatif. Namun ketika ibunya terbaring sakit dan berharap sepucuk surat darinya, Rahman bungkam, tangannya gemetar, pikirannya kosong. Ia pun tak sanggup berkata apa-apa saat sahabatnya pindah sekolah, bukan karena tak peduli, melainkan karena tak terbiasa menyuarakan isi hati. Ia belajar bahasa, tapi kehilangan suara. Maka patut kita renungkan: untuk apa belajar bahasa jika pada akhirnya kita tak mampu menyuarakan yang terdalam dalam diri kita? Di banyak ruang kelas, ironi seperti Rahman bukan hal langka, bahasa telah direduksi menjadi pilihan ganda dan skor numerik. Kita sibuk melatih anak memilih jawaban yang benar, tapi lupa mengajar mereka merangkai kalimat yang jujur. Padahal, bahasa seharusnya menghidupkan manusia, bukan memadamkan ekspresinya demi angka.

Tekanan Skor dan Sertifikasi: Bahasa yang Dibisukan Angka

Di negeri yang menyukai angka lebih dari makna, sistem pendidikan kita tumbuh dengan jantung yang berdetak dalam irama skor, ujian, dan sertifikat. Bahasa pun perlahan kehilangan ruhnya. Ia diperas menjadi soal pilihan ganda: datar, seragam, dan tak memberi ruang bagi keberanian berekspresi. Dalam ruang kelas yang tertib dan nyaris tak bernapas, murid-murid dilatih bukan untuk berkata, melainkan untuk menjawab.

Padahal bahasa bukan hanya tentang benar atau salah. Ia adalah keberanian menyatakan, kesediaan untuk didengar, dan kerendahan hati untuk mendengar balik. Tetapi dalam tekanan untuk lulus, untuk mendapatkan nilai tinggi dan sertifikat kompetensi, anak-anak belajar berbahasa dengan satu tujuan: menghindari kesalahan.

Maka, tak heran jika banyak dari mereka bungkam saat diminta membaca puisi. Tak tahu harus menulis apa saat ditugaskan membuat esai. Takut suara mereka terdengar 'salah', tak sesuai kunci jawaban.

Sebuah studi oleh Maryanne Wolf dalam Proust and the Squid (2007) menyinggung hal ini dengan lembut namun tegas: "Ketika kita mengajari anak-anak membaca dan menulis hanya untuk lulus ujian, kita mengajari mereka untuk tidak berpikir, tetapi untuk menyesuaikan diri." Kalimat itu terasa seperti cermin: bening, tapi menyakitkan.

Seorang guru bercerita tentang muridnya, Lia, yang selalu mendapat nilai 90 ke atas di pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi ketika diminta menulis surat untuk ayahnya yang bekerja di luar kota, ia hanya menulis dua kalimat: "Ayah, semoga sehat. Saya baik-baik saja." Lembar itu kosong sesudahnya. Tak ada rindu, tak ada cerita. "Hebat di atas kertas, hampa dalam ekspresi," kata sang guru pelan. Dan begitulah bahasa kita hari ini: tampak cemerlang di lembar ujian, tapi kering di ruang batin.

Hilangnya Ruang Ekspresi: Ketika Bahasa Tak Lagi Menghidupkan

Bahasa pada dasarnya adalah jendela jiwa. Ia membuka ruang agar manusia bisa menyampaikan isi hatinya, menyusun dunia dari makna, dan merajut jembatan antara satu insan dan insan lain. Di dalam bahasa, kita menyimpan tangis yang tak terdengar, tawa yang ingin dibagi, juga luka yang ingin disembuhkan.

Namun di banyak sekolah dewasa ini, bahasa justru kehilangan fungsi dasarnya. Ujian-ujian yang terstandar dan seragam telah membungkam keberagaman ekspresi. Anak-anak jarang diajak menulis cerita tentang kampung halaman, puisi tentang langit sore yang mereka tatap, atau surat untuk seseorang yang mereka rindukan. Mereka tidak menulis karena tidak diminta. Mereka tidak diminta karena tidak masuk nilai.

Proyek-proyek kreatif dianggap gangguan. Padahal dari situlah suara batin anak tumbuh. Di balik tugas-tugas numerik dan latihan soal, diam-diam kita sedang mengganti warna-warni bahasa menjadi abu-abu yang patuh.

Dalam bukunya The Arts and the Creation of Mind (2002), Elliot Eisner menulis: "Apa yang tidak kita hargai, tidak kita nilai. Dan apa yang tidak kita nilai, tidak kita ajarkan." Maka tak heran, bila cerita, puisi, dan esai reflektif perlahan menghilang dari kelas. Kita tidak menilai ekspresi, dan akhirnya, kita tidak lagi mengajarkannya.

Anak-anak pun tumbuh menjadi pelajar yang fasih menjawab A, B, C, atau D, tapi gagap saat diminta berkata jujur kepada dunia. Mereka kehilangan bahasa yang menghidupkan.

Kita mencetak murid yang bisa memilih jawaban tepat, tapi tak bisa mengatakan apa yang mereka rasakan. Kita memberi mereka skor, tapi tidak memberi mereka suara.

Membangun Kembali Jiwa dalam Pembelajaran Bahasa

Sudah saatnya kita pulang, meniti kembali jalan menuju esensi bahasa yang sesungguhnya: sebagai rumah bagi jiwa, bukan ruang ujian semata. Pembelajaran bahasa seharusnya menjadi tempat anak-anak menemukan diri mereka, bukan kehilangan suara. Di sanalah mereka belajar untuk menyusun kata dari luka, harapan dari diam, dan mimpi dari sunyi.

Menghidupkan kembali kemanusiaan dalam pelajaran bahasa bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan. Kita perlu membiarkan murid menulis bukan hanya karena ada tugas, tetapi karena mereka ingin didengar. Kita perlu mengajarkan bahwa puisi bukan soal rima, tapi tentang keberanian mengungkapkan yang tak terucap.

Evaluasi pun harus berubah: dari penghakiman angka menjadi pendampingan makna. Portofolio tulisan pribadi, proyek narasi, drama kelas, podcast harian, hingga catatan reflektif, semuanya adalah cara untuk menilai yang tak hanya mengukur, tetapi juga merawat. Seperti yang diungkapkan Ken Robinson dalam Out of Our Minds: Learning to be Creative (2001): "Penilaian seharusnya tidak hanya tentang apa yang diketahui siswa, tetapi juga bagaimana mereka tumbuh."

Dalam kerangka ini, guru tak lagi hanya menjadi penjaga skor. Ia menjadi penenun jiwa, yang mendengarkan, membesarkan hati, dan membuka ruang agar bahasa berkembang dalam kejujuran dan keberanian. Ia bukan hakim bahasa, tapi penjaga nyala batin.

Karena sejatinya, belajar bahasa adalah belajar menjadi manusia: hanya manusia yang dapat berbahasa. Dan manusia yang utuh tak hanya pandai menjawab soal, tapi juga mampu berkata, merasakan, dan menghubungkan dunia lewat kata-katanya.

Akhirnya, bahasa bukan sekadar alat untuk meraih nilai tinggi dalam selembar kertas ujian. Ia adalah denyut kehidupan, napas jiwa yang menyimpan tangis, tawa, dan kerinduan yang tak tersampaikan. Di dalam bahasa, manusia mengenal dirinya, mengungkapkan hatinya, dan menyentuh hati yang lain. Karena itu, kita tidak boleh membiarkan bahasa direduksi menjadi pilihan ganda tanpa makna atau angka-angka yang bisu, sebab 'bahasa adalah suara manusia yang hidup.' Suara yang kadang rapuh, tapi jujur; yang tak selalu benar menurut aturan, tapi benar menurut hati. Maka, marilah kita memberi ruang bagi siswa untuk lebih dari sekadar lulus: biarkan mereka gagal dalam tata bahasa, tapi berhasil menyentuh rasa; menulis dengan air mata, dengan tawa, dengan suara yang belum sempurna, karena di situlah letak kejujuran mereka sebagai manusia. Sebagaimana ajakan ini: "Biarlah anak-anak kita tak hanya bisa menjawab soal, tapi mampu menulis tentang luka, tentang harapan, tentang cinta yang tak sempat terucap." Itulah pendidikan bahasa yang menyentuh, dan membangkitkan. (*)

Merauke, 16 Juni 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun