Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menulis, Membaca, dan Berani Berbeda: Sastra sebagai Ruang Kebebasan

13 Maret 2025   04:30 Diperbarui: 13 Maret 2025   20:50 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan bukanlah satu warna, dan dunia tidak pernah dilukis dengan satu kuas. Sastra hadir sebagai pengingat bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekayaan. Ia mengajarkan bahwa setiap suara memiliki tempatnya, setiap pemikiran pantas didengar, dan setiap perbedaan adalah peluang untuk memahami lebih dalam, bukan untuk saling meniadakan. 

Di setiap halaman buku, ada dunia yang berbeda: ada tokoh dengan latar, keyakinan, dan cara berpikir yang unik. Setiap cerita adalah jendela menuju sudut pandang lain, setiap puisi adalah pantulan jiwa yang melihat dunia dengan caranya sendiri. Dan dari sanalah empati bertumbuh. Ketika kita membaca tentang hidup orang lain, kita belajar merasakan, memahami, dan menerima bahwa tidak ada satu kebenaran mutlak yang berdiri sendiri. 

Harapannya, Sastra dalam Kurikulum Merdeka tidak hanya menjadi sekumpulan teks untuk dianalisis, tetapi menjadi ruang bagi peserta didik untuk menemukan dan menghargai perbedaan. Di dalamnya, mereka diajak berani mengutarakan ide tanpa takut dihakimi, mendengarkan pendapat yang berbeda tanpa tergesa-gesa menolak, dan merayakan kebebasan berpikir tanpa kehilangan rasa hormat kepada sesama. 

Sebab sastra, pada akhirnya, bukan sekadar soal kata-kata. Ia adalah tentang bagaimana kita memahami manusia---dengan segala keberagamannya, keunikannya, dan keberaniannya untuk menjadi berbeda.

Pada akhirnya, kurikulum telah membuka pintunya, tetapi pertanyaannya: siapkah kita menjadikan sastra sebagai ruang pembebasan pikiran? Sebab sastra bukan sekadar teks untuk dihafal, melainkan denyut kebebasan: tempat imajinasi melompat, gagasan melawan sunyi, dan keberanian menemukan bentuknya. Jika ia hanya menjadi tugas tanpa roh, maka kehadirannya tak lebih dari buku berdebu di rak perpustakaan. Kebijakan ini seharusnya melahirkan generasi yang berani berpikir, menulis, dan berbeda pendapat, bukan generasi yang takut bertanya. Jika kita ingin sastra benar-benar bernapas dalam kebebasan, maka kita harus lebih dari sekadar mengajarkannya: kita harus merayakannya, dalam diskusi yang hidup, dalam tulisan yang jujur, dalam keberanian untuk berbeda, dan dalam kebebasan bermimpi dengan kata-kata. (*)

Merauke, 13 Maret 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun