Oleh : Agusrifal, S.Pd
Kurikulum Merdeka hadir dengan visi memerdekakan proses belajar. Tapi benarkah hasilnya memerdekakan atau justru membingungkan?
Kurikulum Merdeka, sejak diluncurkan secara nasional, menjadi salah satu topik paling hangat dan kontroversial dalam dunia pendidikan Indonesia. Banyak yang memuji semangat pembebasannya, namun tak sedikit pula yang khawatir ini justru melahirkan “kekacauan baru” di tengah sistem yang belum merata kualitasnya.
Mari kita lihat secara lebih mendalam dan kritis.
Mengapa Kurikulum Ini Disebut "Merdeka"?
Kurikulum ini berdasar pada filosofi Ki Hadjar Dewantara yang menekankan:
1. Pendidikan yang memerdekakan;
2. Penghormatan terhadap kodrat anak;
3. Peran guru sebagai fasilitator, bukan satu-satunya sumber ilmu.
Secara teori, Kurikulum Merdeka selaras dengan pendekatan konstruktivisme dan humanisme, yang menekankan keterlibatan aktif siswa dalam membangun makna dan nilai belajar dari pengalaman mereka sendiri.
Tapi, Apa Masalahnya?
1. Kesenjangan Implementasi. Banyak sekolah terutama di daerah yang belum siap secara infrastruktur maupun SDM. Kurikulum ini menuntut “guru yang inovatif dan reflektif”, namun pelatihan guru masih bersifat sporadis dan tidak mendalam.
2. Fleksibel Tapi Kabur. Alih-alih membebaskan, banyak guru merasa "kehilangan arah" karena tidak ada peta jalan yang tegas. Proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) pun kadang menjadi sekadar kegiatan tempelan, bukan pembelajaran bermakna.