Mengapa Kita Terus Membeli? Menelisik Luka Konsumerisme di Balik Tren "Flexing"
Di era media sosial seperti sekarang, seakan ada dorongan tak terlihat untuk terus membeli, terus menambah, dan terus "memamerkan" apa yang kita miliki. Fenomena ini, yang sering disebut konsumerisme, yang bukan sekedar hobi namun sebuah sistem ekonomi dan budaya yang mendorong kita untuk menemukan kebahagiaan dan identitas melalui konsumsi barang. Namun, di balik  produk baru dan pujian di dunia maya, ada banyak beban yang mengancam, utang, kecemasan, bahkan hilangnya semangat hidup karena merasa tertinggal.
Sebuah survei dari Bankrate pada tahun 2023 menunjukkan bahwa hampir separuh milenial (47%) memiliki utang kartu kredit. Angka ini merupakan hasil dari narasi konsumerisme yang berhasil meyakinkan kita bahwa nilai diri sebanding dengan apa yang kita miliki. Kita terperangkap dalam siklus "beli-pamer-bosan" yang tak ada habisnya. Saat barang baru dibeli, ada euforia sesaat. Namun, euforia itu cepat pudar, digantikan oleh dorongan untuk mencari sensasi baru dan akhirnya, membeli barang baru lagi.
Konsumerisme juga menciptakan dampak ekonomi yang ironis. Di satu sisi, ia menggerakkan roda ekonomi, tetapi di sisi lain, ia menjebak banyak orang dalam jebakan tumpukan hutang. Kita membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, dengan uang yang tidak kita miliki, untuk mengesankan orang-orang yang mungkin tidak kita kenal secara pribadi. Hal ini bisa menjadi narasi yang mengancam kehidupan, karena orang-orang mulai memprioritaskan validasi eksternal daripada kewarasan diri sendiri.
Di sinilah minimalisme hadir bukan sebagai tren, melainkan sebagai sebuah angin segar di tengah konsumerisme. Minimalisme mengajak kita untuk bertanya, "Apakah aku benar-benar butuh ini?" sebelum bertransaksi. Minimalisme bukan hidup miskin atay pelit, tetapi mencoba hidup dengan penuh kesadaran. Dengan mengurangi kepemilikan, kita mengurangi utang, mengurangi kecemasan akan "flexing" dan "fomo" (fear of missing out), serta memberi ruang lebih untuk hal-hal yang benar-benar penting, misalnya waktu bersama orang terkasih, pengembangan diri, dan pengalaman lainnya.
Mungkin saatnya kita berhenti mencari kebahagiaan di rak-rak toko dan mulai menemukannya di dalam diri. Mungkin luka konsumerisme hanya bisa disembuhkan dengan kesadaran bahwa hidup yang kaya tidak diukur dari seberapa banyak yang kita punya, tetapi seberapa besar makna yang kita ciptakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI