Di situ Mr. X merasa heran. Mengapa atasan langsung menelan bulat-bulat laporan tanpa memverifikasi? Setelah ditelusuri telusuri, ternyata aduan itu tidak lain merupakan cara halus dari si pembisik untuk mengambil posisi. Dengan membuat dirinya tampak dekat dengan pimpinan, ia berharap punya andil lebih besar dalam kebijakan. Inilah contoh nyata sugar coating yang melampaui batas, bukan lagi basa-basi, melainkan intrik.
Mr. X pun berusaha menanggapi dengan tenang. Memang ada rasa tersudut, tetapi Mr. X memilih meluruskan persoalan secara terbuka. Mr. X sampaikan kepada pimpinan bahwa cerita yang sampai ke telinga beliau tidak sepenuhnya benar, dan Mr. X siap menjelaskan fakta apa adanya.Â
Mr. X bahkan membuka opsi: bila perlu, mari kita bahas di forum yang lebih luas agar semuanya terang-benderang.
Respons itu membuat suasana hening sejenak. Sang pembisik tidak berani banyak bicara lagi, dan pada akhirnya persoalan pun mereda. Dari pengalaman tersebut saya belajar, ketegasan yang disampaikan dengan cara elegan jauh lebih berharga daripada diam dalam fitnah. Tidak perlu marah berlebihan, cukup luruskan fakta, tunjukkan bahwa kita tidak anti kritik, tetapi juga tidak bisa menerima tuduhan sepihak.
Batas Etis Sugar Coating
Bagi saya, sugar coating boleh saja asal ditempatkan pada porsinya. Ia menjadi masalah jika digunakan untuk memutarbalikkan kenyataan.
- Basa-basi yang sehat: sekadar menjaga sopan santun, memperhalus kritik, atau membangun hubungan baik.
- Bermuka dua yang berbahaya: menyanjung di depan, menusuk di belakang; menyampaikan informasi ke atasan tapi dipelintir demi kepentingan pribadi.
Jika kebetulan kita dipercaya sebagai penyambung lidah antara rekan kerja dan pimpinan, gunakanlah peran itu dengan bijak. Sampaikan informasi apa adanya, jaga keseimbangan, dan jangan terjebak menjadi pembisik yang memprovokasi. Kepercayaan pimpinan mestinya kita balas dengan kejujuran, bukan manipulasi.
Refleksi untuk Dunia Kerja yang Lebih Luas
Fenomena sugar coating sejatinya tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi di hampir semua lingkungan kerja. Di kantor, di organisasi sosial, bahkan di komunitas kecil sekalipun, selalu ada godaan untuk tampil manis di depan atasan atau pemimpin.Â