Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nasi Liwet, MBG, dan Rasa yang Hilang

2 Oktober 2025   14:40 Diperbarui: 2 Oktober 2025   14:40 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali mengingat masa kecil, ingatan saya sering kembali ke meja makan keluarga. Di sanalah aroma nasi liwet mengepul dari kastrol, menyebar bersama wangi daun salam, serai, kemangi, dan bawang merah yang ditumis seadanya. 

Di rumah, nasi liwet selalu ditemani lauk pauk hasil bumi sendiri. Ada pepes ikan mas dari kolam belakang, lalapan segar dari kebun, dan tentu saja sambal ulek yang pedasnya bikin telinga panas. Semuanya dimakan bersama-sama, tanpa sekat siapa lebih dulu, siapa lebih banyak. Ada kehangatan tersendiri yang tak bisa dibeli.

Nasi Liwet bagi saya bukan sekadar makanan, ia adalah cerita tentang bagaimana sebuah keluarga bisa bahagia dengan menu sederhana: asal ada sambal, lalapan, dan tawa. Cerita tentang bagaimana orang tua mendidik anaknya untuk bersyukur lewat sepiring nasi yang mungkin secara materi biasa saja, tapi sarat makna.

Nasi Liwet di Era MBG

Kini ketika pemerintah menggulirkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk siswa sekolah, saya sempat berharap nostalgia itu bisa dihadirkan kembali. Betapa indahnya bila anak-anak Indonesia hari ini bisa menikmati kekayaan dapur nusantara di meja makan sekolah mereka.

Beberapa hari lalu, hadir menu MBG yang diberi label nasi liwet. Tentu saja saya penasaran. Liwet adalah identitas kuliner tanah Sunda, yang bahkan sering dijadikan simbol kebersamaan.

Saat melihat penyajiannya, saya sedikit terkejut: seporsi nasi liwet dengan lauk ayam kremes, ada juga tempe, seiris ketimun segar, tapi tanpa sambal.

Sebagai orang awam gizi, saya bisa memahami kalau ada aturan yang melarang sambal di menu MBG. Pedas dianggap berisiko, mungkin bisa mengganggu pencernaan sebagian anak, atau membuat sebagian tidak mau makan. Alasan itu bisa diterima.

Namun sebagai orang Sunda, saya merasa janggal. Ada lalapan, tapi tidak ada sambalnya. Rasanya aneh. Seperti wayang tanpa gamelan: ada bentuknya, tapi kehilangan nyawanya.

Ruh yang Hilang dari Sepiring Liwet

Bagi orang Sunda, lalapan dan sambal bukan sekadar soal rasa, melainkan juga soal identitas. Sambal bukan hanya pelengkap, melainkan roh dari kebiasaan makan bersama. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya:

- Pedas sambal melatih keberanian dan ketegasan.

- Lalapan segar mengajarkan keseimbangan dan kesederhanaan.

- Mengulek sambal di cobek memberi rasa kebersamaan.

Ketika MBG menyajikan nasi liwet tanpa sambal, yang hilang bukan sekadar rasa pedas, melainkan juga pesan budaya. Anak-anak sekolah yang menikmatinya tidak sedang belajar tentang nasi liwet sebenarnya, melainkan hanya mencicipi versi aman yang sudah dikurangi maknanya.

Antara Nutrisi dan Identitas

Saya tentu tidak menolak niat baik MBG. Secara gizi, menu itu sudah cukup seimbang: ada karbohidrat dari nasi, protein hewani dari ayam, protein nabati dari tempe, serta sayuran segar dari ketimun. Dari sisi kesehatan, itu sudah bagus.

Namun, makanan bukan hanya soal gizi. Ia juga menyimpan identitas.

Mengenalkan nasi liwet kepada siswa semestinya bukan hanya soal menyediakan nasi plus lauk, melainkan juga memperkenalkan kearifan lokal: cara menanak nasi dengan rempah, kebiasaan makan lalapan segar, dan keberanian menikmati rasa pedas meski pedasnya bisa disesuaikan agar ramah anak.

Kalau MBG hanya menekankan pada angka gizi di tabel, lama-lama generasi muda akan kehilangan keterhubungan dengan warisan kuliner mereka. Mereka mungkin tahu istilah liwet, tetapi tidak pernah mengenal rasa yang sesungguhnya.

Jalan Tengah: Rasa Lokal Tanpa Sambal Mentah

Saya bisa memahami kenapa sambal mentah tidak boleh hadir di menu MBG. Tapi apakah tidak ada jalan tengah? Saya kira ada. Misalnya:

- Sambal matang (ditumis, lebih aman, pedasnya bisa dikurangi).

- Sambal kecap (cenderung manis-gurih, bisa menambah selera).

- Acar timun-wortel (asam-manis segar, jadi pengganti sensasi sambal).

- Sayur asem dalam porsi kecil (tetap menghadirkan cita rasa khas Sunda, tanpa risiko terlalu pedas).

Dengan begitu, MBG tetap bisa menjaga kearifan lokal tanpa harus menyalahi aturan tanpa sambal.

Makanan dan Ingatan Kolektif

Makanan bukan sekadar ganjal perut, tetapi juga membentuk ingatan kolektif. Anak-anak yang tumbuh dengan menu MBG seharusnya tidak hanya kenyang, melainkan juga belajar tentang siapa mereka dan dari mana mereka berasal.

Bayangkan suatu hari ketika mereka dewasa, mereka berkata: "Saya dulu makan nasi liwet di sekolah." Itu akan menjadi cerita indah, sebagaimana saya masih menyimpan kenangan nasi liwet masa kecil di rumah.

Namun, jika yang mereka ingat hanyalah nasi putih dengan ayam kremes dan tempe, tanpa ruh lalapan-sambal, maka memori itu terasa hambar.

Menjaga Warisan Kuliner Nusantara

Indonesia kaya akan ragam kuliner. Dari Aceh dengan nasi gurihnya, Minang dengan rendangnya, Jawa dengan gudegnya, hingga Maluku dengan papeda. Setiap daerah punya identitas rasa yang unik. MBG punya peluang besar untuk menghadirkan kekayaan itu.

Namun kalau pendekatannya terlalu pragmatis: asal kenyang, asal ada lauk, yang hilang bukan hanya cita rasa, tetapi juga kebanggaan kolektif. Padahal melalui makanan, kita bisa menumbuhkan rasa cinta tanah air, dengan cara paling sederhana: lewat lidah dan perut.

Penutup: Jujur dari Meja Seorang Sunda

Sebagai orang awam gizi, saya paham alasan sambal dilarang. Tapi sebagai orang Sunda, saya merasa aneh: ada lalap, tapi tak ada sambal.

Tulisan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengingatkan: makanan bukan sekadar soal nutrisi, melainkan juga soal identitas.

Saya membayangkan suatu hari, anak-anak sekolah bisa menikmati nasi liwet yang lebih utuh lengkap dengan ruhnya. Jika bukan dengan sambal mentah, maka dengan alternatif yang tetap memberi jiwa rasa Nusantara.

Karena pada akhirnya, MBG bukan hanya soal makan bergizi gratis, melainkan juga soal menjaga rasa bangsa. Selanjutnya bukankah itu jauh lebih bermakna?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun