Indonesia kaya akan ragam kuliner. Dari Aceh dengan nasi gurihnya, Minang dengan rendangnya, Jawa dengan gudegnya, hingga Maluku dengan papeda. Setiap daerah punya identitas rasa yang unik. MBG punya peluang besar untuk menghadirkan kekayaan itu.
Namun kalau pendekatannya terlalu pragmatis: asal kenyang, asal ada lauk, yang hilang bukan hanya cita rasa, tetapi juga kebanggaan kolektif. Padahal melalui makanan, kita bisa menumbuhkan rasa cinta tanah air, dengan cara paling sederhana: lewat lidah dan perut.
Penutup: Jujur dari Meja Seorang Sunda
Sebagai orang awam gizi, saya paham alasan sambal dilarang. Tapi sebagai orang Sunda, saya merasa aneh: ada lalap, tapi tak ada sambal.
Tulisan ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengingatkan: makanan bukan sekadar soal nutrisi, melainkan juga soal identitas.
Saya membayangkan suatu hari, anak-anak sekolah bisa menikmati nasi liwet yang lebih utuh lengkap dengan ruhnya. Jika bukan dengan sambal mentah, maka dengan alternatif yang tetap memberi jiwa rasa Nusantara.
Karena pada akhirnya, MBG bukan hanya soal makan bergizi gratis, melainkan juga soal menjaga rasa bangsa. Selanjutnya bukankah itu jauh lebih bermakna?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI