Setiap kali mengingat masa kecil, ingatan saya sering kembali ke meja makan keluarga. Di sanalah aroma nasi liwet mengepul dari kastrol, menyebar bersama wangi daun salam, serai, kemangi, dan bawang merah yang ditumis seadanya.Â
Di rumah, nasi liwet selalu ditemani lauk pauk hasil bumi sendiri. Ada pepes ikan mas dari kolam belakang, lalapan segar dari kebun, dan tentu saja sambal ulek yang pedasnya bikin telinga panas. Semuanya dimakan bersama-sama, tanpa sekat siapa lebih dulu, siapa lebih banyak. Ada kehangatan tersendiri yang tak bisa dibeli.
Nasi Liwet bagi saya bukan sekadar makanan, ia adalah cerita tentang bagaimana sebuah keluarga bisa bahagia dengan menu sederhana: asal ada sambal, lalapan, dan tawa. Cerita tentang bagaimana orang tua mendidik anaknya untuk bersyukur lewat sepiring nasi yang mungkin secara materi biasa saja, tapi sarat makna.
Nasi Liwet di Era MBG
Kini ketika pemerintah menggulirkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk siswa sekolah, saya sempat berharap nostalgia itu bisa dihadirkan kembali. Betapa indahnya bila anak-anak Indonesia hari ini bisa menikmati kekayaan dapur nusantara di meja makan sekolah mereka.
Beberapa hari lalu, hadir menu MBG yang diberi label nasi liwet. Tentu saja saya penasaran. Liwet adalah identitas kuliner tanah Sunda, yang bahkan sering dijadikan simbol kebersamaan.
Saat melihat penyajiannya, saya sedikit terkejut: seporsi nasi liwet dengan lauk ayam kremes, ada juga tempe, seiris ketimun segar, tapi tanpa sambal.
Sebagai orang awam gizi, saya bisa memahami kalau ada aturan yang melarang sambal di menu MBG. Pedas dianggap berisiko, mungkin bisa mengganggu pencernaan sebagian anak, atau membuat sebagian tidak mau makan. Alasan itu bisa diterima.
Namun sebagai orang Sunda, saya merasa janggal. Ada lalapan, tapi tidak ada sambalnya. Rasanya aneh. Seperti wayang tanpa gamelan: ada bentuknya, tapi kehilangan nyawanya.
Ruh yang Hilang dari Sepiring Liwet