Bagi orang Sunda, lalapan dan sambal bukan sekadar soal rasa, melainkan juga soal identitas. Sambal bukan hanya pelengkap, melainkan roh dari kebiasaan makan bersama. Ada filosofi yang terkandung di dalamnya:
- Pedas sambal melatih keberanian dan ketegasan.
- Lalapan segar mengajarkan keseimbangan dan kesederhanaan.
- Mengulek sambal di cobek memberi rasa kebersamaan.
Ketika MBG menyajikan nasi liwet tanpa sambal, yang hilang bukan sekadar rasa pedas, melainkan juga pesan budaya. Anak-anak sekolah yang menikmatinya tidak sedang belajar tentang nasi liwet sebenarnya, melainkan hanya mencicipi versi aman yang sudah dikurangi maknanya.
Antara Nutrisi dan Identitas
Saya tentu tidak menolak niat baik MBG. Secara gizi, menu itu sudah cukup seimbang: ada karbohidrat dari nasi, protein hewani dari ayam, protein nabati dari tempe, serta sayuran segar dari ketimun. Dari sisi kesehatan, itu sudah bagus.
Namun, makanan bukan hanya soal gizi. Ia juga menyimpan identitas.
Mengenalkan nasi liwet kepada siswa semestinya bukan hanya soal menyediakan nasi plus lauk, melainkan juga memperkenalkan kearifan lokal: cara menanak nasi dengan rempah, kebiasaan makan lalapan segar, dan keberanian menikmati rasa pedas meski pedasnya bisa disesuaikan agar ramah anak.
Kalau MBG hanya menekankan pada angka gizi di tabel, lama-lama generasi muda akan kehilangan keterhubungan dengan warisan kuliner mereka. Mereka mungkin tahu istilah liwet, tetapi tidak pernah mengenal rasa yang sesungguhnya.
Jalan Tengah: Rasa Lokal Tanpa Sambal Mentah