Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Jangjawokan Maung Lodaya": Dari Loreng ke Legenda, Dari Hutan ke Harapan

20 September 2025   08:37 Diperbarui: 20 September 2025   08:37 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan harimau Jawa di Ujung Kulon pada tahun 1938. (WIKIMEDIA COMMONS/Andries Hoogerwerf)viaKompas.com 

Pembukaan: Memori yang Menggetarkan

Nenek saya, yang meninggal di awal tahun 1980-an pada usia 80-an, sering bercerita tentang pertemuannya dengan maung lodaya (harimau Jawa yang kini telah dinyatakan punah.)
Katanya, saat bertatap mata dengan sang maung, lututnya seketika lemas, hampir tak sanggup berdiri.
Namun, ia masih bisa melafalkan jangjawokan, sebuah mantra yang diwariskan leluhurnya:

"Sima aing sima maung, ulah aing nukasima ku maung,
tapi kudu maung nukasima ku aing!
"

Mantra itu, kata nenek, membuat maung yang ia hadapi tak jadi menyerang.
Dalam bahasa Sunda, sima merujuk pada aura wibawa atau pancaran energi yang membuat seseorang terkesima, tunduk, atau segan.
Lewat jangjawokan itu, nenek saya melafalkan do'a bahwa: ia tak ingin dikuasai rasa takut, justru ingin harimau yang tunduk padanya.

Menurut nenek, harimau itu berbulu belang, yang dalam bahasa Sunda disebut maung lodaya.
Bagi generasi nenek saya, perjumpaan dengan harimau bukan sekadar kisah horor, melainkan bukti hidupnya hubungan yang penuh hormat antara manusia dan satwa liar.

Jangjawokan: Filosofi dalam Kata

Jangjawokan bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jembatan spiritual yang menghubungkan manusia dengan alam.
Di masa lalu, masyarakat Sunda percaya bahwa setiap makhluk hidup memiliki sima, pancaran energi yang membentuk kharisma.
Ketika dua sima bertemu, siapa yang paling kuat dialah yang menguasai situasi.

Mantra seperti yang nenek saya lafalkan bukan untuk menyakiti satwa, melainkan untuk menjaga keseimbangan.
Ia mengajarkan tiga hal penting:

1. Kesadaran diri: manusia harus mengakui bahwa dirinya bukan penguasa mutlak, melainkan bagian dari alam.

2. Pengendalian diri: rasa takut yang tak terkendali justru memancing serangan; keberanian adalah kunci keselamatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun