Pembukaan: Memori yang Menggetarkan
Nenek saya, yang meninggal di awal tahun 1980-an pada usia 80-an, sering bercerita tentang pertemuannya dengan maung lodaya (harimau Jawa yang kini telah dinyatakan punah.)
Katanya, saat bertatap mata dengan sang maung, lututnya seketika lemas, hampir tak sanggup berdiri.
Namun, ia masih bisa melafalkan jangjawokan, sebuah mantra yang diwariskan leluhurnya:
"Sima aing sima maung, ulah aing nukasima ku maung,
tapi kudu maung nukasima ku aing!"
Mantra itu, kata nenek, membuat maung yang ia hadapi tak jadi menyerang.
Dalam bahasa Sunda, sima merujuk pada aura wibawa atau pancaran energi yang membuat seseorang terkesima, tunduk, atau segan.
Lewat jangjawokan itu, nenek saya melafalkan do'a bahwa: ia tak ingin dikuasai rasa takut, justru ingin harimau yang tunduk padanya.
Menurut nenek, harimau itu berbulu belang, yang dalam bahasa Sunda disebut maung lodaya.
Bagi generasi nenek saya, perjumpaan dengan harimau bukan sekadar kisah horor, melainkan bukti hidupnya hubungan yang penuh hormat antara manusia dan satwa liar.
Jangjawokan: Filosofi dalam Kata
Jangjawokan bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jembatan spiritual yang menghubungkan manusia dengan alam.
Di masa lalu, masyarakat Sunda percaya bahwa setiap makhluk hidup memiliki sima, pancaran energi yang membentuk kharisma.
Ketika dua sima bertemu, siapa yang paling kuat dialah yang menguasai situasi.
Mantra seperti yang nenek saya lafalkan bukan untuk menyakiti satwa, melainkan untuk menjaga keseimbangan.
Ia mengajarkan tiga hal penting:
1. Kesadaran diri: manusia harus mengakui bahwa dirinya bukan penguasa mutlak, melainkan bagian dari alam.
2. Pengendalian diri: rasa takut yang tak terkendali justru memancing serangan; keberanian adalah kunci keselamatan.