Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Lokal "Guru Digugu Jeung Ditiru: Asli Ulah Kasilih Ku Junti"

17 September 2025   20:50 Diperbarui: 18 September 2025   15:03 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Guru digugu jeung ditiru," titahnya adalah cahaya, teladannya adalah jalan hidup. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Pembuka: Rasa Takzim yang Memudar
Dulu, ketika saya dimarahi guru, rasa takut yang muncul jauh lebih besar daripada ketika dimarahi orangtua sendiri. Jika saya mengadu ke rumah, orangtua justru ikut memarahi saya, bukan marah pada guru.

Guru, bagi kami, memiliki kedudukan sakral yang sejajar dengan orangtua, bahkan dengan pemimpin masyarakat.

Pepatah Sunda guru digugu jeung ditiru benar-benar hidup kala itu.
Digugu berarti dipercaya, dipegang kata-katanya, sedangkan ditiru berarti diteladani perilakunya.
Guru bukan sekadar pengajar, melainkan pembentuk karakter dan martabat manusia.

Namun, kini saya melihat ada pergeseran. Guru sering kali dipandang hanya sebatas profesi, sementara hubungan batin antara guru dan murid mulai terkikis oleh formalitas. Saya pun bertanya: kapan nilai luhur ini mulai memudar?

Asli Ulah Kasilih Ku Junti: Nilai yang Mulai Luntur
Orang Sunda punya pepatah lain:

Asli ulah kasilih ku junti.

Secara harfiah berarti jangan sampai sesuatu yang asli tergantikan oleh yang palsu atau tidak bernilai.
Dalam konteks pendidikan, ini adalah tongkat estafet bahwa kearifan lokal kita yang murni jangan sampai tergeser oleh budaya luar yang belum tentu cocok, apalagi hanya karena terlihat modern.

Jika dulu ilmu diwariskan melalui guru yang benar-benar hidup bersama murid, sekarang proses itu sering tergantikan oleh gelar akademik, sertifikat, dan ijazah.
Bukan berarti ijazah tak penting, tetapi jika tindak-tanduk dan karakter yang membentuk diri kita hilang, maka yang tersisa hanya selembar kertas tanpa jiwa.

Dulu: Ijazah Berupa Moral, Bukan Hanya Formalitas
Di masa lalu, jika ditanya "Siapa guru kamu?", jawaban itu bukan sekadar nama di kertas.
Menyebut nama seorang guru berarti mengikat diri secara moral.
Jika murid berbuat salah, bukan hanya dirinya yang tercoreng, tetapi juga marwah gurunya.

Kini, pertanyaan itu sering dijawab seperti daftar administrasi: menyebutkan nama-nama guru dari SD hingga universitas, tanpa rasa tanggung jawab untuk menjaga kehormatan mereka.
Guru seolah hanya tinggal nama di ijazah, sedangkan nilai digugu jeung ditiru perlahan memudar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun