Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kasih Sayang yang Tak Pernah Lupa: Kisah Saya Menemani Ibu di Hari-Hari Terakhirnya

18 September 2025   18:09 Diperbarui: 18 September 2025   18:09 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keheningan setelah hujan, seperti sunyi setelah kepergian Ibu.(Sumber: Dokumen Pribadi)

Pendahuluan

Ibu adalah satu-satunya alasan saya untuk selalu pulang.
Meski jarak Bekasi ke Cisalak, Subang, bisa memakan waktu dua hingga empat jam perjalanan, saya tak pernah merasa keberatan. Pulang untuk melepas rindu, dan memastikan Ibu baik-baik saja.

Di usia 70-an, Ibu mulai sering mengeluh, "Banyak lupa, Nak." Awalnya saya hanya menganggap itu bagian wajar dari proses menua. Setiap kali saya pulang, Ibu akan duduk di kursi dekat sofa tempat saya biasa tiduran sambil melepas lelah, lalu Ibu bercerita panjang lebar.

Baca juga: Selamat Hari Ibu

Ia bercerita tentang Ayah yang telah lebih dulu berpulang beberapa tahun lalu, tentang teman-temannya yang satu per satu meninggalkan dunia ini, hingga kisah masa lalunya yang penuh warna. 

Saat mengingat Ayah, sering kali matanya berkaca-kaca, air mata menetes tanpa bisa ditahan. Momen-momen itu menjadi pengikat batin kami. Saya merasa, selama Ibu masih bercerita, saya masih mengenalnya sebagai Ibu yang hangat, penuh kasih sayang, dan kaya akan kisah hidup.

Awal Gejala yang Semakin Jelas

Seiring berjalannya waktu, cerita-cerita Ibu mulai terdengar berbeda. Ada kalanya beliau masih mengenali saya sepenuhnya, memanggil nama saya dengan penuh kasih seperti dulu. Namun di lain kesempatan, beliau tampak bingung. Ibu lupa saya bekerja di mana, lupa urusan yang sedang saya jalani, bahkan terkadang lupa bahwa saya baru saja datang beberapa jam yang lalu.

Saya menganggap ini sekadar pikun biasa. Tapi ketika hal itu semakin sering terjadi, saya melihat sosok Ibu yang saya kenal perlahan menjauh, seperti ditarik ke dunia yang tak bisa saya masuki.

Kadang beliau bersikap kekanak-kanakan, kadang menjelma seperti sosok ibu dahulu saat saya masih kanak-kanak. Ibu berbicara dan bergerak dengan semangat, seolah tubuhnya kembali ke masa mudanya yang dulu enerjik. Namun ada pula hari-hari ketika beliau tampak normal, berbicara tenang dan jelas, seperti tak ada yang berubah.

Perubahan ini membuat saya sering kelelahan secara emosional. Demensia mulai merenggut ingatan Ibu, menguji kesabaran dan kasih sayang kami. Rasanya seperti sedang menyaksikan jiwa Ibu meredup, sedikit demi sedikit, meski napasnya masih dikandung badan.

Namun di tengah semua itu, ada satu hal yang tetap tak pernah beliau lupakan: kasih sayang kepada anak-anaknya. Setiap kali saya hendak kembali ke Bekasi, tatapan matanya penuh cinta, memastikan bahwa saya membawa pulang secuil keberadaan dirinya dalam hati saya.

Kata-Kata Terakhir yang Membekas

Menjelang akhir hayatnya, di usia 74 tahun, kondisi Ibu semakin rapuh. Tubuhnya sering tampak lelah, napasnya pendek, tetapi tatapan penuh kasih itu tidak pernah berubah. 

Saat itu, saya semakin sering pulang, tak peduli jarak dan waktu yang harus ditempuh. Saya hanya ingin berada di dekat beliau, meski sekadar duduk bersama tanpa banyak kata.

Suatu hari, sebelum saya kembali ke Bekasi, Ibu berkata dengan suara lirih namun jelas:

"Nak, jangan sering-sering pulang ke sini. Emak takut kamu kenapa-napa di jalan. Biarlah Emak di sini, dirawat oleh kakak dan adikmu."

Saya terdiam. Kata-kata itu terasa aneh, seperti sebuah pesan yang lebih dalam dari sekadar kekhawatiran seorang ibu. Saya tak pernah menyangka, itulah kata-kata terakhir yang akan saya dengar langsung dari mulut beliau.

Beberapa hari kemudian, kabar yang saya takutkan akhirnya datang. Adik memberi kabar bahwa Ibu sudah tak bisa diajak berkomunikasi. 

Saya segera pulang dengan hati yang berkecamuk, berharap masih sempat melihat beliau. Namun sesampainya di rumah, saya mendapati kenyataan yang tak pernah saya siap hadapi: tubuh Ibu sudah dimandikan dan dibalut kain kafan, siap untuk dimakamkan.

Keheningan setelah hujan, seperti sunyi setelah kepergian Ibu.(Sumber: Dokumen Pribadi)
Keheningan setelah hujan, seperti sunyi setelah kepergian Ibu.(Sumber: Dokumen Pribadi)

Rasanya dunia seperti berhenti berputar. Di ruangan tengah saya tertunduk kaku, memandangi kain penutup jenazah. Tak ada lagi cerita yang terucap, hanya keheningan yang mengantarkan saya pada jutaan kenangan yang berputar di kepala.

Demensia dan Peran Caregiver

Demensia adalah gangguan fungsi otak yang memengaruhi daya ingat, cara berpikir, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Menurut WHO, lebih dari 55 juta orang di dunia hidup dengan demensia, dan jumlah ini akan terus meningkat seiring bertambahnya populasi lansia.

Demensia bukan sekadar pikun biasa. Gejalanya dapat terlihat dari:

- Lupa yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

- Bingung tentang waktu atau tempat.

- Perubahan emosi dan perilaku yang drastis.

- Kesulitan berbicara atau memahami orang lain.

Dalam kondisi seperti ini, peran caregiver menjadi sangat penting. Caregiver bisa berasal dari anggota keluarga, seperti saya dan saudara-saudara saya yang merawat Ibu, atau dari tenaga profesional. 

Tugas seorang caregiver tidak hanya merawat fisik, tetapi juga menjaga martabat dan kebahagiaan orang yang dirawat. Merawat seseorang dengan demensia juga penuh tantangan. 

Untuk itu seorang caregiver perlu:

- Menjaga stamina agar tidak mengalami burnout.

- Memiliki pengetahuan dasar tentang demensia.

- Mendapatkan dukungan dari keluarga dan komunitas.

- Mengambil waktu untuk istirahat dan merawat diri sendiri.

Kasih yang Tak Pernah Pudar

Kini setiap kali saya pulang ke Cisalak, suasananya terasa berbeda. Kursi tempat Ibu biasa duduk kini kosong, seolah menunggu beliau kembali untuk bercerita. 

Sofa tempat saya biasa tidur pun terasa dingin tanpa suara lembutnya yang dulu selalu mengisi hari, namun kasih sayang Ibu tak pernah benar-benar pergi. Ia tetap hidup dalam ingatan saya, dalam setiap cerita yang pernah beliau kisahkan, menuntun setiap langkah saya di dunia ini.

Merawat Ibu di masa-masa terakhirnya adalah pengalaman yang tak akan pernah saya lupakan. Meski penuh air mata dan kelelahan, saya belajar satu hal yang tak ternilai: cinta seorang anak kepada orang tuanya tidak boleh berhenti, bahkan ketika ingatan mereka mulai memudar.

Demensia dapat merengut memori, tetapi kasih sayang tulus tetap tinggal. Kini saya percaya kata-kata terakhir Ibu bukan sekadar larangan untuk sering pulang, melainkan pesan agar saya melanjutkan hidup dengan tegar meski tanpa kehadirannya.

Selanjutnya setiap kali saya menatap langit Subang yang biru. Saya tahu, raga boleh sirna ditelan bumi tapi kasih sayang dan do'a Ibu tetap mengalir abadi.

Catatan Penutup

Tulisan ini saya persembahkan untuk semua anak yang sedang merawat orang tua mereka, terutama yang berjuang menghadapi demensia. Bersabarlah, nikmatilah setiap momen, dan jangan ragu meminta bantuan ketika lelah. 

Karena cinta yang kita berikan hari ini, kelak akan menjadi kenangan yang tak ternilai di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun