Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lorong Sekolah, Jalan Raya, Sistem yang Butuh Install Ulang

12 September 2025   08:02 Diperbarui: 12 September 2025   15:34 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guru dan murid bahu-membahu menjaga kebersihan sekolah di tengah keterbatasan tenaga kebersihan. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Pagi itu lorong sekolah terasa asing bagi saya.
Lantai yang biasanya mengilap kini kusam, dedaunan berserakan di halaman, dan toilet mulai berbau tak sedap. Guru dan siswa mencoba menjaga kebersihan lewat jadwal piket, tetapi hasilnya jauh dari kata memadai.

Di tengah suasana yang tak biasa itu, saya teringat satu nama: Udin, petugas kebersihan yang dulu rajin menyapa siapa saja yang lewat.
Kini, Udin tak lagi hadir. Bukan karena ia berhenti, melainkan karena posisinya sebagai tenaga outsourcing telah resmi dihapus, setelah sumber pendanaannya tak lagi tersedia.

Sekolah kami pun kini berdiri tanpa tenaga kebersihan yang memadai. Di satu sisi, kebijakan ini membuat administrasi sekolah terlihat lebih bersih.
Namun di sisi lain, realitas di lapangan justru berantakan. Ironis, bukan?

Dari Honorer ke Outsourcing

Dulu, sekolah masih bisa mengangkat tenaga honorer untuk posisi seperti petugas kebersihan, satpam, dan administrasi. Meski gaji mereka tak besar, ada ikatan emosional yang terjalin: mereka merasa menjadi bagian dari keluarga besar sekolah.

Namun, ketika pemerintah melarang pengangkatan honorer baru, sekolah kehilangan fleksibilitas untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Sebagai solusi sementara, muncullah skema outsourcing.
Di atas kertas, ini tampak rapi: sekolah bekerja sama dengan perusahaan penyedia jasa, lalu tenaga kebersihan dikirim sesuai kebutuhan.

Namun, praktiknya tidak selalu berjalan mulus.

Ternyata sistem outsourcing pun tak luput dari potensi penyelewengan.
Dana yang seharusnya terarah jelas sering kali melewati jalur yang berliku-liku.
Sistem yang lemah membuat niat baik mudah terhenti di tengah jalan, meninggalkan ketidakpuasan dan prasangka di mana-mana.

Selanjutnya pada akhirnya, para tenaga kebersihan seperti Udin berada di posisi paling rentan.
Mereka bekerja di garis depan, tetapi menjadi pihak pertama yang dihapuskan ketika dana tak lagi tersedia.
Sementara itu, guru dan siswa hanya bisa menyaksikan keadaan memburuk sedikit demi sedikit, tanpa banyak yang bisa dilakukan.

Lingkaran Serba Salah

Keadaan ini membuat saya merenung.
Sekolah seperti berada dalam lingkaran serba salah:

- Dengan dana yang bebas dikelola, risiko penyalahgunaan tinggi dan kepercayaan masyarakat runtuh.

- Dengan dana yang sepenuhnya dikontrol, sekolah sering kali tidak cukup fleksibel untuk memenuhi kebutuhan vital seperti kebersihan.

Guru dan kepala sekolah pun berada di posisi sulit, sering disalahkan ketika situasi memburuk.
Padahal mereka hanya berusaha menjaga kapal agar tidak karam di tengah badai.
Kini, setelah outsourcing tak lagi dibiayai, sekolah benar-benar kehilangan tenaga kebersihan.

Dampaknya terasa jelas: kebersihan merosot, kesehatan siswa terancam, dan guru ikut terbebani.
Sementara di luar sana, para petugas kebersihan yang kehilangan pekerjaan menghadapi PHK yang senyap, tanpa sorotan berita, tanpa teriakan di jalanan.

Benang Merah dengan Demo

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan gelombang demonstrasi melanda berbagai kota.
Orasi menggema, spanduk terangkat, dan ribuan orang turun ke jalan yang kalau simpulkan berupa "17+8 tuntutan rakyat." Diantaranya menuntut pencegahan PHK massal serta kesejahteraan guru.

Di layar televisi, saya melihat wajah-wajah penuh harapan dan kemarahan, ternyata ada benang merah yang menghubungkan semuanya:

- Pekerja yang turun ke jalan mewakili nasib tenaga outsourcing seperti Udin, yang kehilangan pekerjaan tanpa suara,

- guru yang disebut dalam tuntutan demo mewakili dunia pendidikan, yang sering dijadikan simbol, tetapi jarang benar-benar diperjuangkan kesejahteraannya,

- dan sekolah kami hanyalah miniatur dari masalah bangsa yang lebih luas.

Ternyata, lorong sekolah yang kotor dan jalanan yang dipenuhi demonstran berbicara tentang hal yang sama: ketidakadilan.
Bedanya hanya pada volume suara.
Yang satu senyap, yang lain riuh.

Sistem yang Perlu "Install Ulang"

Jika komputer terkena virus ringan, cukup dengan update antivirus.
Namun, jika virusnya sudah terlalu parah, install ulang adalah satu-satunya jalan.
Begitu juga dengan sistem ketenagakerjaan dan pendidikan kita.

Selama ini, kita hanya seperti melakukan "update kecil":

- Menghapus honorer, menggantinya dengan outsourcing.

- Menghapus sumber dana yang rawan disalahgunakan, tetapi tidak menyediakan alternatif yang sehat.

- Membuat aturan baru, namun tanpa pengawasan yang jelas.

Masalahnya tetap sama, hanya berganti nama.
Bahkan, kadang masalahnya semakin rumit, seperti virus yang bermutasi.

Kita membutuhkan perombakan menyeluruh, bukan tambalan sementara.
Sebuah langkah besar yang mampu:

1. Menyatukan kebijakan pendidikan dan ketenagakerjaan.

2. Menjamin transparansi dana publik, agar setiap rupiah dapat ditelusuri.

3. Memberikan perlindungan kerja yang setara, dari guru hingga petugas kebersihan.

4. Memberi sekolah fleksibilitas yang sehat untuk memenuhi kebutuhan vital seperti kebersihan dan keamanan.

Tanpa itu semua, kita hanya akan terus terjebak dalam sistem yang penuh error dan pesan peringatan.

Penutup: Lorong dan Jalan Raya

Melihat lorong sekolah yang kotor, saya teringat wajah Udin yang dulu selalu tersenyum.
Kini, ia mungkin sedang mencari pekerjaan lain, sementara sekolah berjuang dengan segala keterbatasan.
Di jalan raya, ribuan orang meneriakkan tuntutan yang sejatinya sama: keadilan dan kepastian hidup.

Sekolah hanyalah cermin kecil dari wajah bangsa.
Jika ketidakadilan bisa merambah hingga ruang kelas dan toilet sekolah, itu pertanda virus telah menyebar ke seluruh sistem.
Selanjutnya seperti komputer yang sudah rusak parah, bangsa ini pun butuh install ulang.

"Karena ketika guru, murid, dan pekerja mengalami nasib yang sama, memperbaiki satu bagian saja tidak akan cukup. Kita harus memperbaiki keseluruhan sistem, agar sekolah kembali menjadi tempat belajar yang sehat, dan negara menjadi rumah yang layak bagi semua."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun