Keadaan ini membuat saya merenung.
Sekolah seperti berada dalam lingkaran serba salah:
- Dengan dana yang bebas dikelola, risiko penyalahgunaan tinggi dan kepercayaan masyarakat runtuh.
- Dengan dana yang sepenuhnya dikontrol, sekolah sering kali tidak cukup fleksibel untuk memenuhi kebutuhan vital seperti kebersihan.
Guru dan kepala sekolah pun berada di posisi sulit, sering disalahkan ketika situasi memburuk.
Padahal mereka hanya berusaha menjaga kapal agar tidak karam di tengah badai.
Kini, setelah outsourcing tak lagi dibiayai, sekolah benar-benar kehilangan tenaga kebersihan.
Dampaknya terasa jelas: kebersihan merosot, kesehatan siswa terancam, dan guru ikut terbebani.
Sementara di luar sana, para petugas kebersihan yang kehilangan pekerjaan menghadapi PHK yang senyap, tanpa sorotan berita, tanpa teriakan di jalanan.
Benang Merah dengan Demo
Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan gelombang demonstrasi melanda berbagai kota.
Orasi menggema, spanduk terangkat, dan ribuan orang turun ke jalan yang kalau simpulkan berupa "17+8 tuntutan rakyat." Diantaranya menuntut pencegahan PHK massal serta kesejahteraan guru.
Di layar televisi, saya melihat wajah-wajah penuh harapan dan kemarahan, ternyata ada benang merah yang menghubungkan semuanya:
- Pekerja yang turun ke jalan mewakili nasib tenaga outsourcing seperti Udin, yang kehilangan pekerjaan tanpa suara,
- guru yang disebut dalam tuntutan demo mewakili dunia pendidikan, yang sering dijadikan simbol, tetapi jarang benar-benar diperjuangkan kesejahteraannya,
- dan sekolah kami hanyalah miniatur dari masalah bangsa yang lebih luas.