Tentu saya juga melihat ada segelintir orang yang pura-pura sibuk, pura-pura tidur, atau sengaja menatap ke arah lain ketika ada penumpang lansia masuk. Tapi itu urusan hati masing-masing. Bagi saya, sikap di kendaraan umum sudah seharusnya bisa jadi cermin bagaimana seseorang menjalani kesehariannya.
Dari Masa Lalu ke Masa Kini
Kini suasana transportasi umum memang berbeda jauh. Bus kota mulai berkurang, digantikan TransJakarta, KRL, MRT, atau LRT yang lebih modern, berpendingin, dan tertib. Tidak lagi sebising dulu, tidak sepadat bus kota yang diceritakan Ahmad Albar.
Namun, tantangan baru muncul: perhatian orang kini banyak tersedot ke layar ponsel. Banyak yang asyik dengan musik, gim, atau media sosial sehingga tidak lagi peka dengan sekitar. Padahal, ruang-ruang empati tetap ada: kursi prioritas, jalur khusus, hingga pengumuman yang selalu mengingatkan agar mendahulukan yang membutuhkan.
Pertanyaannya: apakah budaya empati masih kuat? Atau justru perlahan terkikis oleh individualisme dan distraksi layar?
Kebaikan yang Tak Pernah Usang
Bagi saya, act of kindness di transportasi umum adalah sebuah jalan untuk melakukan amal kebaikan. Tidak perlu menunggu momen heroik untuk bisa peduli. Kadang, berdiri beberapa kilometer perjalanan sambil berpegangan pada besi pegangan, demi seorang ibu hamil bisa duduk dengan aman, sudah cukup berarti.
Itulah nilai yang sebaiknya tidak hilang, meskipun zaman berubah. Karena kalau di bangku kendaraan umum saja kita bisa belajar saling peduli, terlebih dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Penutup
Setiap kali mengingat lagu Naik Bus Kota, yang bercerita tentang sesaknya perjalanan, tentang peluh, tentang susahnya jadi orang kecil. Di balik itu, ada kesempatan untuk berbuat kebaikan kecil.
Meski sering dianggap sepele, kebaikan kecil itu adalah fondasi dari budaya kepedulian yang lebih besar. Jadi, lain kali ketika kita naik transportasi umum, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah memberi ruang bagi orang lain, sekecil apa pun itu?