Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Naik Bus Kota, Peluh, dan "Act of Kindness" di Transportasi Umum

28 Agustus 2025   21:05 Diperbarui: 28 Agustus 2025   21:05 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi di dalam bus transjakarta, Jakarta Selatan pada Selasa (17/1/2023) sore. (KOMPAS.com/Muhammad Isa Bustomi)

"Bercampur dengan peluh semua orang, membuat aku jadi, pusing kepala... memang susah! jadi orang yang tak punya... kemana pun, naik bus kota..." 

Begitu kira-kira bait yang pernah dinyanyikan Ahmad Albar dalam lagu Naik Bus Kota. Sebuah potret sederhana kehidupan masyarakat urban di era 80-an, ketika bus kota masih menjadi transportasi andalan.

Lagu itu bukan sekadar musik, melainkan cermin suasana sehari-hari. Berdesakan, panas, penuh keringat, kadang bercampur asap rokok, suara klakson, juga teriakan kenek menawarkan rute. Namun di tengah hiruk pikuk itulah, banyak cerita lahir. Salah satunya tentang kebaikan kecil yang seringkali luput dari sorotan: kesediaan memberi tempat duduk bagi mereka yang lebih membutuhkan.

Budaya Memberi Kursi

Saya masih ingat betul masa sekolah hingga kuliah, bahkan sampai sebelum punya kendaraan pribadi. Naik angkutan umum adalah rutinitas harian. Tak jarang kami harus berdiri berdesakan, menahan pegal, bahkan sesekali terhimpit di dekat pintu.

Namun, di balik itu semua, ada nilai yang secara tidak tertulis selalu hadir: jika ada penumpang yang lebih tua, ibu hamil, atau orang yang membawa anak kecil, kami yang muda harus rela memberikan kursi.

Itu bukanlah aturan resmi. Tidak ada rambu, tidak ada papan peringatan. Hanya naluri dan kebiasaan yang sudah ditanamkan sejak kecil: menghormati yang lebih tua, mengutamakan yang membutuhkan. Bahkan teman-teman sebaya saya pun melakukannya dengan spontan, seakan sudah menjadi bagian dari identitas bersama.

Cermin Kehidupan Sehari-hari

Kalau dipikir-pikir, act of kindness di kendaraan umum hanyalah puncak kecil dari gunung kebiasaan kita sehari-hari. Empati yang terlihat di bus kota, angkot, atau kereta sebenarnya adalah wajah dari kehidupan yang dijalankan di rumah, di sekolah, di kampus, atau di lingkungan sekitar.

Budaya itu menunjukan bahwa kebaikan bukan sesuatu yang harus diumumkan, apalagi diabadikan. Kebaikan hadir dalam bentuk sederhana: berdiri beberapa menit demi orang lain bisa duduk nyaman.

Tentu saya juga melihat ada segelintir orang yang pura-pura sibuk, pura-pura tidur, atau sengaja menatap ke arah lain ketika ada penumpang lansia masuk. Tapi itu urusan hati masing-masing. Bagi saya, sikap di kendaraan umum sudah seharusnya bisa jadi cermin bagaimana seseorang menjalani kesehariannya.

Dari Masa Lalu ke Masa Kini

Kini suasana transportasi umum memang berbeda jauh. Bus kota mulai berkurang, digantikan TransJakarta, KRL, MRT, atau LRT yang lebih modern, berpendingin, dan tertib. Tidak lagi sebising dulu, tidak sepadat bus kota yang diceritakan Ahmad Albar.

Namun, tantangan baru muncul: perhatian orang kini banyak tersedot ke layar ponsel. Banyak yang asyik dengan musik, gim, atau media sosial sehingga tidak lagi peka dengan sekitar. Padahal, ruang-ruang empati tetap ada: kursi prioritas, jalur khusus, hingga pengumuman yang selalu mengingatkan agar mendahulukan yang membutuhkan.

Pertanyaannya: apakah budaya empati masih kuat? Atau justru perlahan terkikis oleh individualisme dan distraksi layar?

Kebaikan yang Tak Pernah Usang

Bagi saya, act of kindness di transportasi umum adalah sebuah jalan untuk melakukan amal kebaikan. Tidak perlu menunggu momen heroik untuk bisa peduli. Kadang, berdiri beberapa kilometer perjalanan sambil berpegangan pada besi pegangan, demi seorang ibu hamil bisa duduk dengan aman, sudah cukup berarti.

Itulah nilai yang sebaiknya tidak hilang, meskipun zaman berubah. Karena kalau di bangku kendaraan umum saja kita bisa belajar saling peduli, terlebih dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Penutup

Setiap kali mengingat lagu Naik Bus Kota, yang bercerita tentang sesaknya perjalanan, tentang peluh, tentang susahnya jadi orang kecil. Di balik itu, ada kesempatan untuk berbuat kebaikan kecil.

Meski sering dianggap sepele, kebaikan kecil itu adalah fondasi dari budaya kepedulian yang lebih besar. Jadi, lain kali ketika kita naik transportasi umum, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah memberi ruang bagi orang lain, sekecil apa pun itu?

Karena mungkin, di situlah wajah sejati mengenai siapa kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun