"Bercampur dengan peluh semua orang, membuat aku jadi, pusing kepala... memang susah! jadi orang yang tak punya... kemana pun, naik bus kota..."Â
Begitu kira-kira bait yang pernah dinyanyikan Ahmad Albar dalam lagu Naik Bus Kota. Sebuah potret sederhana kehidupan masyarakat urban di era 80-an, ketika bus kota masih menjadi transportasi andalan.
Lagu itu bukan sekadar musik, melainkan cermin suasana sehari-hari. Berdesakan, panas, penuh keringat, kadang bercampur asap rokok, suara klakson, juga teriakan kenek menawarkan rute. Namun di tengah hiruk pikuk itulah, banyak cerita lahir. Salah satunya tentang kebaikan kecil yang seringkali luput dari sorotan: kesediaan memberi tempat duduk bagi mereka yang lebih membutuhkan.
Budaya Memberi Kursi
Saya masih ingat betul masa sekolah hingga kuliah, bahkan sampai sebelum punya kendaraan pribadi. Naik angkutan umum adalah rutinitas harian. Tak jarang kami harus berdiri berdesakan, menahan pegal, bahkan sesekali terhimpit di dekat pintu.
Namun, di balik itu semua, ada nilai yang secara tidak tertulis selalu hadir: jika ada penumpang yang lebih tua, ibu hamil, atau orang yang membawa anak kecil, kami yang muda harus rela memberikan kursi.
Itu bukanlah aturan resmi. Tidak ada rambu, tidak ada papan peringatan. Hanya naluri dan kebiasaan yang sudah ditanamkan sejak kecil: menghormati yang lebih tua, mengutamakan yang membutuhkan. Bahkan teman-teman sebaya saya pun melakukannya dengan spontan, seakan sudah menjadi bagian dari identitas bersama.
Cermin Kehidupan Sehari-hari
Kalau dipikir-pikir, act of kindness di kendaraan umum hanyalah puncak kecil dari gunung kebiasaan kita sehari-hari. Empati yang terlihat di bus kota, angkot, atau kereta sebenarnya adalah wajah dari kehidupan yang dijalankan di rumah, di sekolah, di kampus, atau di lingkungan sekitar.
Budaya itu menunjukan bahwa kebaikan bukan sesuatu yang harus diumumkan, apalagi diabadikan. Kebaikan hadir dalam bentuk sederhana: berdiri beberapa menit demi orang lain bisa duduk nyaman.